Oleh Gandri Narandu

Kemajuan teknologi informasi (TI) tak dapat dicegah. Hampir seluruh perusahaan maupun instansi pemerintah berlomba-lomba memanfaatkan kemajuan TI, termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Tuntutan pelayanan agar lebih efektif dan efisien, optimalisasi pemanfaatan infrastruktur DJBC, dan penghematan APBN melatarbelakangi DJBC menerapkan sistem Pertukaran Data Elektronik Internet (PDEI).

PDEI merupakan media penyampaian terbaru yang dapat digunakan para stakeholders (pengusaha importir/eksportir) untuk mengajukan pemberitahuan pebean (PP) berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) maupun Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) kepada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC).

PP sebelum menggunakan PDEI dilakukan secara manual, sistem disket, dan sistem PDE (Modul). Pada sistem manual, proses pelayanan kepada perusahaan dilakukan tanpa perangkat komputer. Pengusaha membuat dokumen PP, mencetak, dan membawa ke kantor Bea Cukai (BC). Kemudian diperiksa dan dinomori secara langsung.

Nomor tersebut dikenal dengan istilah Pemberitahuan Pabean untuk Dipakai. Data pada saat itu tidak disimpan ke dalam komputer. Sebelum tahun 1990, sudah terdapat komputer di beberapa kantor BC, namun sebatas untuk pengetikan atau proses administrasi biasa. Komputerisasi atas pelayanan impor di Bea Cukai dimulai tahun 1990, dengan diimplementasikannya "Customs Fast Release System (CFRS)" yang dikembangkan menggunakan software DBASE3+ pada Personal Computer dan COBOL pada server.

Ini masih sebagai sistem internal BC. Dokumen impor pada sistem itu berupa Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) yang dibuat secara manual oleh importir. Formulirnya diketik manual atau menggunakan komputer. PIUD diajukan secara manual ke BC berupa hardcopy oleh importir, lalu diinput ulang oleh petugas perekam di bagian penerimaan dokumen. Kemudian, divalidasi sebelum masuk dalam proses layanan. Proses penjaluran dilakukan semimanual yang dilakukan petugas berdasarkan data profil yang disediakan sistem.

Pada tahun 1995, aplikasi CFRS disempurnakan dengan membuat modul importir berupa program aplikasi untuk membuat dokumen PIB, nama baru pengganti PIUD). Data pada dokumen PIB yang diinput oleh importir dapat ditransfer ke disket, lalu di-load ke dalam sistem CFRS agar tidak perlu diinput ulang.

Sistem CFRS menghilangkan fungsi perekaman sebagai input sumber data menjadi proses loading dari disket. Pemprosesan data dalam CFRS saat itu relatif sama. Namun ada beberapa proses yang lebih diotomasikan seperti penjaluran terhadap dokumen impor yang sudah dibuat profil terhadap beberapa parameter data, di antaranya importir, komoditas, pemasok dan negara asal. Proses penggunaan disket sebagai media transfer data PIB dari importir ke BC cukup efektif dan efisien dalam mempercepat proses pelayanan karena banyak yang dapat dipangkas baik waktu, tenaga, maupun biaya.

Sistem PDE

Setelah menggunakan disket, pada tahun 1997 DJBC menerapkan pelayanan menggunakan sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE) untuk menggantikan atau melengkapi sistem disket di beberapa kantor. Pada tahap ini, untuk modul PIB ada versi disket dan elektronik (Electronic Data Interchange/EDI).

PDE Modul pertama kali diterapkan dengan sistem PDE-VSAT atau menggunakan satelit. Kemudian berkembang menjadi sistem PDE-MPLS Telkom sejak tahun 2005 hingga sekarang. Untuk menjalankan sistem tersebut, para stakeholders harus memiliki modul perusahaan, software enabler, modem, dan telepon. Software enabler untuk mengubah data dalam format enskripsi edifact dan dikomunikasikan menggunakan modem. Sistem ini paling maju dalam layanan pemerintah saat itu.

Pengajuan dokumen menggunakan PDE (Modul EDI) berkembang sampai kini. Dampaknya, pengajuan dokumen secara online meminimalkan tatap muka antara pengguna jasa dan petugas guna mengurangi potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu juga memudahkan pengawasan kedua belah pihak.

Sistem PDE juga memberi koneksi dengan lembaga/instansi lain yang berkaitan dengan perizinan impor-ekspor. Namun, di sisi lain, sistem PDE mengakibatkan pengajuan dokumen dengan provider dan dokumen tersimpan di dalam server provider. Hal ini menimbulkan biaya bagi pemerintah dan pengguna jasa (stakeholders). Selain itu, juga mengakibatkan translasi dokumen dilakukan beberapa kali (dari klien), sehingga untuk data banyak membutuhkan waktu lebih lama.

Karena beberapa alasan tersebut, BC meningkatkan pelayanan Sistem PDE menjadi lebih baik dengan membentuk PDEI. Terdapat beberapa faktor pendukung penerapan PDEI. Di antaranya, tidak ada perubahan prosedur (tata cara pengisian dan operasional program aplikasi dari modul perusahaan maupun inhouse aplikasi pelayanan kepabeanan).

Dalam PDEI, dokumen PIB dan PEB sudah terintegrasi dengan sistem Indonesia National Single Windows, terkoneksi dengan lembaga/instansi lain, sama seperti PDE provider. Pengiriman dokumen PIB/PEB memungkinkan ke seluruh kantor BC Indonesia karena sistem Customs and Excise Information System and Automation (CEISA). Ini nama untuk sistem informasi dan otomasi BC yang telah terdapat fitur tracking mandiri pada portal pengguna jasa.

Dengan penerapan PDEI diharapkan pengajuan dokumen secara PDE tidak tergantung pada provider tertentu (memanfaatkan koneksi Internet). Para stakeholders tidak harus datang ke kantor BC, kecuali ada pemeriksaan fisik dan penyerahan hardcopy. Ini menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Para stakeholders dapat mengirim dokumen dan mencetak respons secara mandiri.

Penerapan PDEI DJBC juga berdampak pada penghematan anggaran sampai 100 miliar rupiah pertahun. Sebelum 1 Januari 2019, DJBC berkomitmen PDEI telah berjalan 100 persen di seluruh KPPBC. Namun, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, menegaskan, tanggal 15 Desember 2018 agar seluruh kantor BC telah menerapkannya.

Penulis Pegawai Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

Baca Juga: