Kalau produksi jalan di tempat, berarti ada yang salah dengan desain dan pelaksanaan kebijakan dan program.

JAKARTA - Daging impor Bulog sudah tiba di Jakarta, akhir pekan lalu, guna mengimbangi tren peningkatan kebutuhan daging menjelang Ramadan dan Lebaran. Namun, penguatan stok tersebut justru memperlihatkan masih tingginya kebergantungan RI terhadap impor pangan, khususnya daging.

Kepala Badan Pangan Nasional (NFA), Arief Prasetyo Adi, mengapreasiasi aksi Bulog sebagai salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mendapat penugasan importasi daging tahun ini. "Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, kami akan mendorong BUMN Pangan yang mendapat penugasan untuk mempercepat masuknya cadangan stok nasional. Saya minta daging yang sudah masuk ini langsung didistribusikan," tegas Arief di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dengan jumlah stok daging beku di Bulog saat ini, Arief berharap dapat membantu mengatasi kebutuhan lonjakan permintaan daging beku guna menghadapi Ramadan dan Idul Fitri sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog, Mokhamad Suyamto, mengatakan dari kontrak tahap pertama sebanyak 20 ribu ton oleh Bulog per hari ini sudah tiba sebanyak 60 persen dan sampai akhir Maret ini akan rampung 100 persen.

"Kami sudah melakukan pengaturan dan percepatan semaksimal mungkin untuk proses kedatangan stok daging impor ini, selanjutnya dengan sarana cold storage dan jaringan infrastruktur yang dimiliki Bulog akan segera disitribusikan ke seluruh Indonesia," kata Suyamto.

Bulog, kata dia, turut menjamin kebutuhan daging beku tersedia di masyarakat walau ada lonjakan permintaan. "Bulog akan menggunakan seluruh instrumen yang ada untuk menjamin ketersedian pangan tersebut," ucapnya.

Perum Bulog juga terus berkoordinasi dengan NFA, pemerintah pusat maupun daerah guna membantu menyukseskan program pemerintah dengan menstabilkan harga pangan lainnya pada saat Ramadan dan Idul Fitri.

Di sisi lain, importasi daging demi memperkuat stok tersebut sangat disayangkan, mengingat anggaran untuk sektor pertanian sangat besar. Dari 2015-2020, alokasi anggaran untuk Kementan selalu di atas 20 triliun rupiah per tahunnya. Namun hingga kini, sekitar 70 persen kebutuhan masih berasal dari luar negeri sehingga harga daging dalam negeri rentan bergejolak, sebagai imbas dinamika pasar global.

Tinjau Ulang

Pengamat Pertanian, Said Abdullah, menilai besarnya anggaran tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah meninjau ulang program swasembada pangan karena tak sesuai harapan. Harapannya, dengan banyaknya evaluasi, target swasembada daging pada 2026 bisa tercapai.

Hal lain, lanjut Said, ke depan memang harusnya ukuran keberhasilan program tidak pada output seperti serapan anggaran, atau bantuan tetapi perlu dinaikkan ukurannya pada outcome yang diukur dampaknya.

Kalau dihitung dari 2015, anggaran sektor pertanian naiknya berkali-kali lipat. "Artinya, kalau produksi jalan di tempat berarti ada yang salah dengan desain dan pelaksanaan kebijakan dan program," tegasnya. n ers/E-10

Baca Juga: