» Bank sentral AS bakal gagal meredam inflasi kalau tidak menaikkan suku bunga di atas 4 persen.

» Kurs di emerging market bakal melemah, begitu pula dalam pembayaran utang dan terjadinya pelarian modal.

WASHINGTON - Survei yang dilakukan Financial Times baru-baru ini menunjukkan mayoritas ekonom terkemuka memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) di atas 4 persen. Level tersebut akan dipertahankan setelah 2023 sebagai upaya untuk melawan inflasi yang tinggi.

Survei terbaru yang dilakukan dalam kemitraan dengan Initiative on Global Markets di Booth School of Business University of Chicago, menunjukkan kalau The Fed masih jauh dari upaya mengakhiri kampanye yang memperketat kebijakan moneter.

Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) telah menaikkan suku bunga tahun ini pada laju tercepat sejak 1981 dan diperkirakan akan menerapkan kenaikan suku bunga 0,75 poin persentase ketiga berturut-turut, pada Rabu, ke level 3 hingga 3,25 persen.

Hampir 70 persen dari 44 ekonom yang disurvei antara 13 dan 15 September percaya bahwa tingkat FFR dari siklus pengetatan kali ini akan mencapai puncaknya di kisaran 4-5 persen, sedangkan 20 persen berpendapat akan melampaui level tersebut.

"FOMC belum mencapai kesepakatan dengan seberapa tinggi mereka perlu menaikkan suku bunga," kata Eric Swanson, pakar di University of California, Irvine, yang memperkirakan suku bunga dana Fed pada akhirnya akan mencapai kisaran 5-6 persen.

"Jika The Fed ingin memperlambat ekonomi sekarang, mereka perlu menaikkan suku bunga di atas inflasi (inti)," tambahnya.

Sementara itu, Jón Steinsson dari University of California, Berkeley mengaku khawatir jika The Fed sampai pada titik di mana mereka menghadapi risiko kredibilitasnya yang terkikis secara serius.

Lebih dari sepertiga ekonom yang disurvei memperingatkan, Fed akan gagal mengendalikan inflasi jika tidak menaikkan suku bunga di atas 4 persen pada akhir tahun ini. Sebagian besar juga berpendapat The Fed akan mempertahankannya pada periode lebih lanjut.

Resesi AS menurut para ekonom kemungkinan akan berlangsung selama dua atau tiga kuartal, dan pada puncaknya, tingkat pengangguran bisa berkisar 5-6 persen jauh melebihi tingkat 3,7 persen saat ini.

Inflasi Tertinggi

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Imron Mawardi, yang diminta pendapatnya, mengatakan kekhawatiran para ekonom tersebut sangat mungkin terjadi jika melihat kondisi ekonomi global yang terpuruk ini masih berlanjut.

"Saat ini ekonomi global memang kurang baik. Inflasi tertinggi sejak 1980-an, sehingga The Fed harus menaikkan tinggi suku bunga dan kemungkinan itu berlanjut," kata Imron.

Kalau itu terjadi, dampaknya akan sangat besar pada pasar keuangan dunia. Suku bunga tinggi di AS membuat obligasi pemerintah naik, sehingga akan berdampak pada emerging market seperti Indonesia dan Tiongkok. Modal akan banyak tersedot ke AS.

"Kita tahu di pasar keuangan Indonesia, hot money cukup tinggi, sangat mudah berpindah karena mereka melihat pasar mana yang menjanjikan. Ini berdampak pada menurunnya indeks, yang menandakan harga saham pasar jatuh. Selanjutnya akan diikuti melemahnya rupiah. Saat itu, pasar kita, termasuk rupiah, akan mengalami tekanan karena sebagian besar bahan baku industri kita dari impor," kata Imron.

Bank Indonesia (BI) pun tentu akan merespons mengikuti tren global, karena AS menjadi benchmark (acuan). "Suku bunga tinggi akan menjalar ke kita sekaligus menandai berakhirnya rezim bunga rendah," kata Imron.

Pada kesempatan terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan emerging market bakal terdampak setidaknya nilai tukar akan cenderung melemah, pelunasan utang luar negeri menjadi lebih berat, larinya kapital ke luar negeri, dan neraca perdagangan juga akan terganggu. "Ini hal serius di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang sampai saat ini serba tidak pasti," katanya.

Antisipasi dari emerging market dengan ikut menaikkan suku bunga harus diperhitungkan secara cermat dan hati-hati dengan memperhatikan pemulihan ekonomi setelah pandemi. "Jangan sampai peningkatan suku bunga menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi demikian berat dan berkepanjangan," pungkas Aloysius.

Baca Juga: