Tantangan AS saat ini adalah defisit keuangan negara masih besar sehingga akan ada kebutuhan bond issuance cukup besar.

JAKARTA - Era suku bunga tinggi diperkirakan masih berlangsung sepanjang paruh pertama tahun ini. Pasalnya, penurunan suku bunga Federal Reserve atau the Fed diprediksi masih terhambat oleh besarnya defisit Amerika Serikat (AS).

Ekonom senior, Chatib Basri, berpendapat meskipun ada peluang the Fed menurunkan suku bunga 2-3 kali pada paruh kedua 2024, namun defisit AS masih menjadi tantangan. "Tantangannya adalah defisit di AS masih besar. Jadi, akan ada kebutuhan bond issuance yang cukup besar," kata Chatib Basri saat ditemui pada kegiatan IIF's Anniversary Dialogue bertema The Dynamics of Sustainable Infrastructure Financing and Its Roles in Achieving Food Security di Jakarta, Senin (29/1).

Di samping itu, dia menilai peluang resesi AS mengecil pada tahun ini. Hal itu disebabkan dia melihat adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di AS.

Sementara, bila kemungkinan resesi AS mengecil, skema yang mungkin terjadi ialah makin sedikitnya orang-orang yang memegang obligasi. "Permintaan bond akan naik, suplai naik, maka harga akan jatuh dan imbal hasil (yield) akan naik. Ini yang membuat the Fed harus hati-hati dalam menurunkan tingkat suku bunga," ujar dia.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memperkirakan suku bunga kebijakan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) turun sebanyak tiga kali hingga mencapai 75 basis poin pada 2024, dimulai pada paruh kedua 2024. Perkiraan tersebut didasarkan atas penilaian terhadap kondisi ekonomi AS, pasar tenaga kerja dan inflasi Indeks Harga Belanja Personal (PCE) inti AS, serta pernyataan-pernyataan resmi dari Federal Open Market Committee (FOMC).

Perry menuturkan pasar mengantisipasi kemungkinan FFR turun lebih cepat di penghujung triwulan II-2024. Sebagian memperkirakan tingkat penurunan FFR yang lebih tinggi, yakni bisa empat kali dengan total penurunan 100 basis poin pada 2024, bahkan lebih besar. Karena masih ada ketidakpastian waktu dan besaran penurunan suku bunga FFR, maka terdapat volatilitas sentimen pasar sehingga rupiah naik turun.

Terlalu Optimistis

Senada, praktisi pasar modal dan Dosen Universitas Atma Jaya, Hans Kwee, melihat pemangkasan suku bunga acuan oleh the Fed tidak akan terlalu agresif pada tahun ini. "Pelaku pasar terlalu optimistis bank sentral seperti the Fed bakal memotong bunga 6 kali atau 150 basis poin (bps). Mungkin the Fed hanya memotong 75 bps di tahun ini," ujar Hans Kwee, beberapa waktu lalu.

Dia melihat perekonomian negeri Paman Sam masih cukup kuat dan akan soft landing. Selain itu, dia mengingatkan adanya risiko global yang datang dari perlambatan ekonomi raksasa Asia, Tiongkok serta konflik geopolitik yang masih berlangsung di beberapa negara.

Dia juga mengingatkan hampir separuh negara- negara di dunia melangsungkan politik elektoral berupa Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024, termasuk beberapa di antaranya negara- negara maju dengan ekonomi besar. "Selain itu, ada pemilu di AS, Korea Selatan, dan India," ujar ujar Hans Kwee.

Seperti diketahui, sejak Maret 2022, the Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali dengan kenaikan akumulatif sebesar 525 bps. Kenaikan suku bunga terakhir dilakukan bank sentral AS tersebut pada Juli 2023 menjadi 5,25-5,50 persen.

Pada 2023, kenaikan Fed Fund Rate (FFR) terjadi sebanyak 4 kali, yakni Februari, Maret, Mei, dan Juli dengan kenaikan masing-masing 25 bps. (total 100 bps), terakhir Desember FFR di kisaran 4,25-4,50 persen.

Baca Juga: