Sebagai pulau tektonik, Enggano tersusun oleh perbukitan bergelombang, bukit karst, daratan, dan rawa. Ekosistem hutan mangrovenya yang luas, bukan hanya menjadi penahan dari gempuran gelombang, namun menjadi habitat beragam flora-fauna, yang menarik untuk dikunjungi.
Sebagai pulau tektonik, Enggano tersusun oleh perbukitan bergelombang, bukit karst, daratan, dan rawa. Ekosistem hutan mangrovenya yang luas, bukan hanya menjadi penahan dari gempuran gelombang, namun menjadi habitat beragam flora-fauna, yang menarik untuk dikunjungi.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 telah menetapkan 111 pulau terluar di Indonesia. Di antara pulau itu terdapat pulau-pulau kecil terluar yang salah satunya adalah Enggano yang berada di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Jarak Pulau Enggano ke ibu kota Provinsi Bengkulu sekitar 156 kilometer. Sedangkan jarak terdekat adalah ke Kota Manna, Bengkulu Selatan sekitar 96 kilometer.
Pada 2023 ini, pelayaran ke pulau ini dilayani oleh Kapal Motor Penumpang Pulau Tello dari Pelabuhan Baai di Kota Bengkulu ke Pelabuhan Malakoni di Pulau Enggano dengan waktu tempuh 10 jam.
Nama Enggano berasal dari bahasa Portugis enggano yang bermakna kesalahan. Nama tersebut diberikan oleh Alvaro Talesso dan Alonzo Rolesso, dua orang pelaut Portugis, yang terdampar di pulau tersebut untuk waktu yang lama setelah kapal mereka terhempas badai pada 1506.
Pada 5 Juni 1596, ekspedisi Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tercatat mendarat di Pulau Enggano. Namun sejak 1596 hingga 1771, tidak ada orang Eropa yang hadir secara terus menerus di Pulau Enggano.
Meski Belanda pernah melakukan ekspedisi dari Batavia pada 1645, Pulau Enggano termasuk pulau yang mereka telantarkan. Pada 1684, Pulau Enggano berada di bawah kekuasaan Inggris bersamaan dengan keberhasilan mereka merebut Bengkulu dari Belanda.
Sebelum para penjajah Eropa mengenalnya, Pulau Enggano telah lama dikenal oleh orang Melayu. Penduduk asli menyebutnya sebagai Pulau Telanjang. Nama ini muncul karena pada masa lalu masyarakat adat Enggano baik pria maupun perempuan masih bertelanjang dada.
Namun orang Enggano memiliki sebutan sendiri untuk menyebut pulau yang memiliki luas 397,2 kilometer persegi itu. Mereka menyebutnya dengan nama È Loppeh yang dalam bahasa Enggano berarti tanah, daratan, atau bumi.
Enggano dihuni satu suku dengan lima klan atau puak. Klan dimaksud adalah Kaitora, Kauno, Kaharubi, Kaahua, dan Kaharuba termasuk suku pendatang (Kamay). Mereka tinggal di enam desa yaitu Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu.
Pulau yang dihuni oleh oleh 4.035 jiwa menurut sensus tahun 2020 tidak sendiri. Di sekelilingnya ada pulau-pulau kecil menemaninya seperti Pulau Dua, Merbau, dan Bangkai yang terletak di sebelah barat pulau utama. Sedangkan Pulau Satu yang berada di sebelah selatannya.
Menurut Gunawan, dkk. (2006) dalam tulisan berjudul Pulau Enggano, Bengkulu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, pulau ini termasuk dalam pulau karang yang terbentuk dari aktivitas tenaga endogen dari perut Bumi. Tenaga tersebut terdorong lantai samudra ke permukaan air laut.
Sebagai pulau tektonik, Pulau Enggano tersusun oleh perbukitan bergelombang, perbukitan karst, daratan, dan rawa. Perbukitan bergelombang terdapat di daerah tenggara dengan ketinggian antara 170-220 meter. Sedangkan perbukitan karst yang mempunyai ketinggian antara 100-150 meter terdapat di bagian barat laut, menunjukkan morfologi yang khas dan didominasi oleh batu gamping.
Di bagian utara terutama daerah pantai merupakan dataran rendah alluvial yang berawa-rawa dengan ketinggian 0-2 meter. Sedangkan bentuk permukaan tanah di Pulau Enggano secara umum dapat dikatakan cukup datar hingga landai, dengan sedikit daerah yang agak curam.
Pada bagian timur pulau lebih datar daripada bagian barat. Secara proporsional dapat dikatakan 63,39 persen dari pulau ini mempunyai kemiringan landai (0-8 persen), 27,95 persen agak miring (8-15 persen) dan sisanya daerah miring sampai terjal (15-40 persen). Tanahnya didominasi oleh jenis tanah kambisol, litosol, dan aluvial, selain tekstur lempung berliat.
Hutan dan Pantai
Hutannya masih sangat lestari dan terjaga oleh penduduknya. Ada 3.724,75 hektare merupakan hutan desa, 24.184 hektare hutan ulayat, 719 hektare hutan nibung, 465,25 hektare hutan waru, 1.967,75 hektare rawa, dan 394,74 hektare hutan keramat. Lainnya adalah persawahan (301,75 hektare), perkebunan (2.614,50 hektare), perkampungan (123,25 hektare), dan hutan bakau 91.710,50 hektare).
Sementara itu garis pantai Pulau Enggano mencapai 112 kilometer. Karakteristik pantai-pantainya dapat dikategorikan dalam 5 tipe utama yaitu pasir berlumpur, pasir, pasir berkarang, pasir karang berlumpur, dan pantai karang berbatu.
Di sepanjang pantainya yang berpasir dan berlumpur membentang hutan mangrove yang menjadi hutan paling mangrove paling luas di Provinsi Bengkulu.
Ekosistem hutan mangrove di Enggano dikenal sangat kompleks. Keberadaannya sangat penting untuk untuk habitat beragam biota, pelindung abrasi dari gelombang dan intrusi air laut, perangkap sedimen, serta penyedia nutrisi bagi ekosistem.
Hutan ini mangrove di Enggano memiliki ketebalan antara 50 - 1500 meter dari bibir pantai ke menuju daratan. Tanjung Kaana merupakan daerah yang mempunyai hutan mangrove paling lebat, ketebalannya rata-rata mencapai 1.000 meter.
Kawasan hutan mangrove menjadi andalan masyarakat untuk menarik wisatawan luar daerah. Titik wisata yang ditawarkan antara lain di Teluk Kio, Kahabi, Berahau, Kiyoyo, Kitap dan Kiabah. Dari enam lokasi itu, tiga lokasi yang berada di dalam kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, yakni Teluk Kio, Kiyoyo dan Kiabah.
Beberapa kegiatan yang ditawarkan kepada wisatawan antara lain berperahu di kawasan mangrove, memancing dan menjelajah hutan mangrove. Di kawasan hutannya memiliki sungai yang menjadi jalur begi penjelajahan hutan ini.
Selain itu kegiatan pemantauan flora dan fauna di ekosistem mangrove juga menarik untuk dijelajahi wisatawan dengan minat khusus. Pada musim dingin di belahan Bumi utara, pulau ini menjadi tempat singgah dan mencari makan untuk migrasi burung yang menuju belahan Bumi selatan.
Selain burung migran, Enggano juga memiliki burung endemik yang dapat disaksikan di kawasan mangrove maupun hutannya. Enggano memiliki 6 spesies endemik burung yang hanya terdapat di pulau Enggano dan tidak dapat di jumpai di daerah lain.
Enam spesies itu adalah beo Enggano (Gracula enganensis), betet Enggano (Psittacula longicauda), anis Enggano (Zoothera leucolaema), kacamata Enggano (Zosterops salvadorii), celepuk Enggano (Otus enganensis), dan Uncal Enggano (Macropygia cinnamomea). hay/I-1