JAKARTA - Hasil riset dari Laporan Status Global Terbarukan 2022 (GSR 2022) yang dibuat lembaga REN21 menyatakan penerapan energi terbarukan sebenarnya merupakan solusi yang terbaik dalam rangka mengatasi fluktuasi harga energi saat ini.

"Energi terbarukan adalah solusi yang paling terjangkau dan terbaik untuk mengatasi fluktuasi harga energi," kata Direktur Eksekutif REN21, Rana Adib, dalam keterangan di Jakarta, Kamis (16/6).

Seperti dikutip dari Antara, berdasarkan laporan GSR 22, transisi energi terbarukan global tidak terjadi, meskipun banyak janji untuk melakukan pemulihan dengan cara hijau setelah pandemi.

Kondisi itu masih menurut hasil riset laporan tersebut, membuat dunia tidak mungkin dapat memenuhi target iklim pada dekade ini.

"Meskipun bukti energi terbarukan adalah sumber energi yang paling terjangkau untuk meningkatkan ketangguhan dan mendukung dekarbonisasi, pemerintah dunia terus memberikan subsidi energi fosil. Gap antara ambisi dan tindakan negara memberi peringatan yang jelas bahwa energi transisi global tidak terjadi," kata Adib.

Target Ekonomi

Ia mengungkapkan menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021, tercatat 135 negara berjanji mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050.

Namun, hanya 84 negara yang punya target ekonomi yang luas untuk energi terbarukan, dan hanya 36 yang menargetkan 100 persen energi terbarukan.

Ditemukan pula sebagian besar peningkatan penggunaan energi global pada tahun 2021 dipenuhi oleh bahan bakar fosil, yang menghasilkan lonjakan emisi karbon dioksida terbesar dalam sejarah, naik lebih dari 2 miliar ton di seluruh dunia.

Tahun 2021 menandai berakhirnya era bahan bakar fosil murah, dengan lonjakan harga energi terbesar sejak krisis minyak tahun 1973. Pada akhir tahun, harga gas mencapai sekitar 10 kali lipat dari harga 2020 di Eropa dan Asia dan tiga kali lipat di AS, yang menyebabkan lonjakan harga listrik di pasar utama pada akhir 2021," ucapnya.

Menurut dia, invasi Russia ke Ukraina memperburuk krisis energi yang sedang berlangsung, menyebabkan gelombang kejutan komoditas yang belum pernah terjadi sebelumnya yang sangat membebani pertumbuhan ekonomi global, mengguncang lebih dari 136 negara yang bergantung pada impor bahan bakar fosil.

Dokumen GSR 2022 mengungkapkan, meskipun ada komitmen baru untuk aksi iklim, pemerintah masih memilih memberi subsidi untuk produksi bahan bakar fosil dan digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengurangi dampak krisis energi. Antara 2018 dan 2020, pemerintah di seluruh dunia menghabiskan 18 triliun dollar AS atau 7 persen dari PDB global pada 2020 untuk subsidi bahan bakar fosil, dalam beberapa kasus sambil mengurangi dukungan untuk energi terbarukan.

Pemerintah Indonesia memiliki tiga strategi untuk mewujudkan rasio elektrifikasi 100 persen di Indonesia, yakni perluasan jaringan, pembangunan mini-grid, dan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan lengkap dengan alat penyalur daya listrik (Apdal) serta stasiun pengisian energi listrik (SPEL).

Baca Juga: