Percepatan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia salah satu cara mengakselerasi transisi energi nasional untuk mencapai netral karbon.

JAKARTA - Pemanfaatan energi surya akan menjadi tulang punggung menuju net zero emission (NZE) pada 2060. Namun untuk mencapai target itu, diperlukan tambahan kapasitas pembangkit tenaga surya. Karena itu, peran nyata pemerintah pusat dan daerah (pemda) serta pelaku usaha menjadi kunci.

Kepresidenan Indonesia di G20 pada 2022 menjadi momentum untuk menunjukkan keseriusan Indonesia mengakselerasi transisi energi global dan rencana transisi energi nasional untuk mencapai netral karbon 2060 atau lebih cepat. Percepatan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia adalah salah satu caranya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, mengatakan dalam roadmap transisi energi Indonesia untuk mencapai NZE pada 2060, energi surya akan berperan penting dalam penyediaan listrik nasional. Dari 587 gigawatt (GW), kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 361 GW atau lebih dari 60 persen akan berasal dari energi surya.

Ego menambahkan pemerintah memiliki tiga program besar pemanfaatan energi surya, yaitu PLTS Atap, PLTS ground-mounted skala besar, dan PLTS terapung. "Implementasi beragam program ini membutuhkan kontribusi dari banyak pihak, tak hanya pemerintah, pemegang wilayah usaha maupun pengembang energi terbarukan, tetapi juga para pengguna energi, seperti sektor komersial dan industri," jelas Ego dalam kegiatan Indonesia Solar Summit (ISS) 2022 di Jakarta, Selasa (19/4).

Ego menambahkan PLTS Atap merupakan salah satu quick wins percepatan pemanfaatan energi surya melalui kontribusi langsung dari para pengguna energi, khususnya bagi industri untuk memenuhi tuntutan pasar yang semakin kuat terhadap produk hijau (green product).

Menurut Eko, dukungan dari manufaktur lokal juga sangat diperlukan untuk memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan memberikan manfaat yang besar untuk dalam negeri terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja.

"Di samping itu, aspek kemudahan akses pembiayaan murah, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk memberikan kelayakan finansial dan meningkatkan investasi energi terbarukan seperti PLTS," ungkapnya.

Tambah Kapasitas

Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan untuk mencapai target energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 sesuai Perpres 22/2017, selain target rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 10,9 GW, dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sekitar 4 GW di luar PLN. Tambahan ini bisa disumbang oleh PLTS baik PLTS Atap maupun penggunaan PLTS di wilayah usaha (wilus) non-PLN.

Menurutnya, dari deklarasi 2,3 GW proyek PLTS di ISS 2022 menunjukkan potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia. Indonesia bisa jadi solar power house di Asia Tenggara dengan potensi pertumbuhan 3-4 GW per tahun jika tidak dihalang-halangi.

"Ini membuka kesempatan mengalirnya investasi hijau, kesempatan menumbuhkan industri PLTS terintegrasi dari hulu ke hilir, dan penyerapan tenaga kerja serta daya dorong pemulihan ekonomi pasca-Covid," tandas Fabby.

Baca Juga: