» Pemerintah banyak ditipu dengan informasi seolaholah batu bara dan fosil lebih murah, padahal dibangun di perkotaan saja lebih mahal dari EBT.
» Energi hijau ke depan harus dikembangkan lebih masif karena lebih ramah lingkungan.
JAKARTA - Belum konsistennya pemerintah mengurangi emisi karbon dengan terus membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar ditengarai karena banyak menerima informasi-informasi yang salah.
Informasi tersebut sengaja diembuskan para pengusaha dan perusahaan yang berinvestasi di industri batu bara seolah-olah energi kotor tersebut lebih murah dibanding dengan membangun pembangkit listrik yang berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti tenaga surya dan bayu.
Pemerintah banyak dapat informasi salah seolah-olah energi fosil lebih murah, padahal dibangun di perkotaan saja lebih mahal dari EBT, apalagi kalau dibangun di daerah terpencil, misalnya di Saumlaki, Maluku.
Untuk mengirim mesin pembangkit ke daerah terpencil tersebut, biayanya sudah besar, ditambah biaya infrastruktur serta biaya kerusakan lingkungan yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta pendapatnya, di Jakarta, Jumat (23/7), mengatakan listrik dari PLTU jatuhnya lebih mahal daripada listrik dari pembangkit EBT.
Di sektor energi, jelasnya, perhitungannya mengacu pada Levelized Cost of Electricity (LCOE) dengan berbasiskan variabel-variabel belanja modal (capex), biaya operasional dan pengeluaran (opex), capacity factor, dan lain-lain.
Selama ini yang diangkat ke publik, listrik PLTU milik PLN seolah-olah murah karena banyak variabel biaya yang sudah tidak dihitung lagi karena pembangkitnya sebagian besar telah berusia di atas 15 tahun dan investasinya sudah kembali modal.
"Jadi yang dihitung hanya biaya bahan bakar dan operasional serta pemeliharaan, biaya capex-nya tidak lagi diperhitungkan," kata Fabby.
Untuk PLTU yang baru tarif listriknya di atas 6 sen dollar AS per kilowatt per hour (kWh) seperti PLTU Batang. Selain itu, beberapa proyek PLTU nilai kontraknya seakan-akan rendah karena asumsi harga bahan bakar dibuat rendah karena bahan bakar dibebankan ke PLN.
Selain itu, dalam pembangunan PLTU mendapatkan subsidi dalam bentuk concessional finance, yang membuat biaya investasi lebih rendah.
"Jika perhitungan bunga menggunakan market rate, maka biaya investasi PLTU akan naik," kata Fabby.
Sementara untuk pembangkit EBT seperti proyek FPV Cirata sebenarnya biayanya sudah turun dengan harga produksi 5,8 sen dollar AS per kWh. Begitu juga PLTS Bali Barat dan Bali Timur 2 x 25 MW, masing-masing 5,9 sen dollar AS per kWh dan 5,6 sen dollar AS per kWh.
"Belum lagi kalau menghitung biaya eksternalitas atau dampaknya pada pencemaran lingkungan dan biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat. Pasti membangun PLTU biayanya sangat besar, sedangkan EBT dampaknya tidak ada," kata Fabby.
Berdampak Buruk
Secara terpisah, Pengajar dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan bahwa energi fosil seperti batu bara tidak bisa diperbaharui dan dampaknya ke lingkungan juga lebih buruk. "Beberapa proyek dari sisi biaya produksi batu bara dibuat seolah-olah lebih murah dibanding energi hijau, karena ongkos untuk pemulihan lingkungan yang lebih besar ke depan tidak pernah dihitung. Biaya itu pada akhirnya ditanggung dan memberatkan keuangan negara lagi," kata Esther.
Ke depan, paparnya, penggunaan energi hijau harus dikembangkan lebih masif karena lebih ramah lingkungan.
"Pemerintah harus mendorong produksi energi hijau lebih banyak lagi dengan memberi stimulus fiskal bagi produsen maupun konsumen, agar mereka lebih termotivasi memproduksi dan menggunakan energi hijau," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radi, mengatakan penggunaan batu bara kelihatannya murah, tetapi kontribusinya terbesar terhadap pencemaran lingkungan. Selain itu, satu saat akan habis karena tidak bisa diperbarui. "Pengembangan EBT merupakan keniscayaan sebelum energi fosil habis. Kalau habis, akan terus bergantung kita pada impor energi," tegas Fahmy. n ers/E-9