Dalam RUPTL hijau, masih ada rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 13,8 gigawatt (GW) atau 43 persen dari kapasitas PLTU saat ini.

JAKARTA - Pemerintah perlu bertindak secara konkret untuk menekan emisi karbon. Sebab, emisi karbon Indonesia sektor energi sepanjang 2015-2020 naik 33 persen atau sekitar 6,5 persen tiap tahun. Angka tersebut di atas capaian pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, memperkirakan tren peningkatan emisi karbon akan terus berlanjut ke depan. Hal itu terlihat rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 yang oleh pemerintah sebutkan sebagai RUPTL hijau.

Dalam RUPTL pengganti RUPTL lama (2019-2028), kata dia, masih ada rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 13,8 gigawatt (GW) atau 43 persen dari kapasitas PLTU saat ini. Dalam RUPTL itu RI masih akan membangun PLTU batu bara baru.

Hal itu menjadikan Indonesia sebagai satu dari lima negara Asia yang menguasai 80 persen investasi baru pada pembangkit batu bara. "Apabila tak ada upaya nyata emisi karbon RI akan meningkat lagi," tegas Berly dalam diskusi transiri energi di Jakarta, Selasa (23/11).

Menurut dia, kebijakan hijau pemerintah selama ini masih kurang agresif untuk menekan perubahan iklim. RI sebenarnya perlu belajar dari Vietnam yang sangat agresif melakukan transisi energi ke energi bersih. Kapasitas energi surya dengan sistem photovoltaic (PV) di negara itu meningkat 157 kali dari hanya 105 megawatt (MW) pada 2018 menjadi 16.504 MW atau 16,5 gigawatt (GW) pada 2020.

Vietnam negara terbesar ketiga di dunia untuk kapasitas solar panel (panel surya) PV. Tercatat 44 persen dari total kapasitas solar PV di Asia Tenggara pada 2019 berada di Vietnam. Sementara RI jauh tertinggal, padahal sumber energi suryanya sangat berlimpah.

Karena itu, Berly meminta pemerintah secepatnya melakukan transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT). "Percepat phase out (penghentian) PLTU batu bara, sebab listrik dari batu bara merupakan sumber energi karbon," tegas Berly.

Di sisi lain, lanjut dia, pemerintah perlu mempercepat pemanfaatan EBT. Salah satu titik kunci ialah perubahan formula harga EBT dari maksimal 85 persen dari harga listrik di daerahnya menuju minimal 100 persen. Itu melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres).

Tak Berdaya

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana, mengatakan pemerintah sudah memutuskan untuk tidak memberi izin bagi pembangunan PLTU baru. Adapun PLTU yang lagi dibangun saat ini, beberapa waktu lagi akan selesai pembangunannya.

"Kita tidak bisa secara sepihak menghentikan kontraknya karena nanti bisa ke arbitrase dan kita kalah, akhirnya harus membayar lagi padahal mestinya tidak perlu. Kita punya pengalaman di situ," ungkap Rida.

Pemerintah, kata dia, menegaskan tidak akan memperpanjang kontrak PLTU yang akan selesai masa kontraknya. Bahkan tengah dicari juga cara supaya untuk memensiundinikan PLTU yang akan habis masa kontraknya. Skema pembiayaannya sedang diupayakan.

Rida menyampaikan pemerintah berencana mengandalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mengejar target bauran EBT sebeasar 23 persen pada 2025. Pemerintah meningkatkan pembangunan PLTS dibanding pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Untuk jangka waktu pembangunan misalnya, PLTA dan PLTP itu membutuhkan waktu sekitar 6-7 tahun, sementara PLTS lebih cepat hanya sekitar tiga tahun. "Kenapa kita andalkan PLTS karena pengerjaannya lebih cepat dibanding PLTA dan PLTP, sehingga memungkinkan target 23 persen pada 2025 itu tercapai," tutur Rida.

Direktur Assosiasi Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira menuturkan perkembangan terbaru harga energi dari sumber EBT di pasar global semakin murah dibanding energi fosil. Kemudian, secara global juga makin banyak dukungan pembiayaan untuk EBT sehingga kita tidak perlu ragu karena tren global lagi menuju energi hijau.

Baca Juga: