Pemerintah harus memeriksa emisi dan polusi yang keluar dari PLTU di sekitar Jakarta.

JAKARTA - Pemerintah perlu mengaudit emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) karena polusi udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dipicu oleh pembangkit listrik dari energi kotor. Jika langkah tegas tidak dilakukan, dampak buruk dari pencemaran udara ini kian meluas.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kualitas udara pagi dipengaruhi polusi udara dari malam sebelumnya. Kalau menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehitanan (KLHK) sebelumnya, kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada polusi udara Jabodetabek mencapai 30 persen.

"Menurut saya, pemerintah harus melakukan pemeriksaan emisi dan polusi yang keluar dari PLTU yang ada di sekitar Jakarta," tegas Fabby kepada Koran Jakarta, Senin (2/10).

Fabby menekankan agar setiap PLTU harusnya menggunakan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) yang datanya masuk secara real time ke KLHK.

"Jadi datanya harusnya ada. Berdasarkan data CEMS ini KLHK & Dirjen Gatrik melakukan evaluasi, apakah PLTU telah patuh memenuhi batas emisi," ucap Fabby.

Selain itu, dari kajian ini dapat disimulasikan dengan arah angin dampak polusinya di Jabodetabek. "PLTU PLTU tersebut juga harus diberikan peringatan untuk melakukan perbaikan. Jika tidak maka izin operasinya harusnya dicabut," tukasnya.

Seperti diketahui, tanpa hujan, dan bahkan minim tutupan awan, Jakarta terukur memiliki kualitas udara terburuk di dunia pada Sabtu 30 September lalu. Situs IQAir mengukur indeks kualitas udara Jakarta untuk parameter PM2,5 termasuk golongan Tidak Sehat, yakni sebesar 166 atau tertinggi di antara kota-kota besar di dunia.

Jakarta antara lain berada di atas Delhi (160), Doha (158), Dubai (156), Shanghai (154), dan Kuala Lumpur (152). Seluruhnya tergolong kualitas udara Tidak Sehat. Di Jakarta, berdasarkan jaringan 31 stasiun pemantau yang ada, IQAir mengukur konsentrasi PM2,5 sebesar 84 mikrogram per meter kubik. Itu setara 16,8 kali lebih tinggi dari nilai ambang penetapan WHO.

Indeks tertinggi diukur oleh stasiun yang ada di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Polusi udara PM2,5 di titik ini menunjuk angka 180. Fakta hasil pengukuran, hampir seluruh stasiun menunjuk indeks Tidak Sehat.

Surya Darma, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES) mengakui sekarang PLTU disinyalir menjadi salah satu kontributor cukup besar bagi polusi di kota kota besar, khususnya Jakarta.

Jakarta sendiri, terang Surya, sesungguhnya dikepung kebutuhan listriknya oleh berbagai PLTU baik milik PLN, IPP dan tentu saja yg belum dihitung adalah Captive power.

"Hal ini tentu saja makin memprihatinkan. Apalagi dampak nya saat ini kepada lingkungan termasuk perubahan iklim yang sudah di depan mata. Selain itu, kegiatan transportasi juga berkontribusi positif pada polusi," tandasnya.

Sumber Penyakit

Sementara itu, Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan secara prinsip, penyakit Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) perlu mendapat perhatian khusus dari para stakeholder, termasuk pemerintah dan dunia usaha. Kelompok yang sudah dinyatakan terkena ISPA perlu mendapat perhatian khusus, sedang kelompok-kelompok rentan berisiko seperti anak, ibu hamil, lansia dan penyakit terkait juga perlu mendapat perhatian preventif dengan edukasi keluarga secara masif.

"Yang paling wajib ditekankan bagi PLTU adalah penyesuaian ambang batas yang lebih sesuai dengan kelayakan udara bagi komunitas sekitar dan ekosistem, mengingat ambang batas kita jauh lebih rendah dari negara-negara maju yang masih menggunakan PLTU," papar Hafidz.PENGAMBILALIHAN

Baca Juga: