» Dunia sedang krisis beras, tapi RI masih santai-santai saja, bahkan untuk bekerja sesuai standar saja, masih banyak yang tidak dikerjakan.
» Kalau di Papua Tengah tidak ada stok dan sampai penduduk kelaparan berarti memang tidak ada persiapan.
JAKARTA - Bencana kelaparan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, merupakan peringatan serius bagi ketahanan pangan di Tanah Air. Kalau tidak menyiapkan langkah antisipasi yang lebih riil, jelas dan terukur, maka bencana kelaparan bisa makin parah dan meluas di saat benar-benar memasuki musim kering (El Nino).
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Masyhuri, menyayangkan pernyataan dari otoritas pangan seperti Badan Pangan Nasional dan Kementerian Pertanian yang selalu menyatakan kesiapan stok pangan menghadapi El Nino.
Kenyataannya, El Nino belum melanda, kelaparan sudah terjadi dan mengancam 10 ribu jiwa di Papua Tengah.
"Pemerintah telah lalai. Papua Tengah itu hanya perlu kerja standar, bukan kerja berlebih seperti kita harus menghadapi ancaman El Nino yang tiap hari dipidatokan. Kalau kerja standar saja gagal, bagaimana nasib kita kalau El Nino benar-benar datang? Kerja standar saja gagal kok, pidato bersiap El Nino," kata Masyhuri saat dihubungi Koran Jakarta, Jumat (4/8).
Masyhuri menjelaskan Papua Tengah saat ini baru memasuki musim kemarau dan belum berada di musim kemarau biasa atau bahkan di dalam ancaman El Nino. Jika pemerintah bekerja sesuai standar saja, kelaparan pada hari ini tidak akan terjadi. Karena kejadian di sana berulang, sehingga semestinya sudah ada rencana mempersiapkan stok pangan sejak lama.
Dari sisi jenisnya, pangan di Papua Tengah didominasi oleh sagu, umbi-umbian, pisang, dan beras. Semestinya, persediaan pangan baik yang masih di pohon maupun umbi-umbian dan beras yang bisa disimpan karena masih banyak tersedia di sana.
"Kalau enggak ada stok dan sampai kelaparan berarti memang tidak ada persiapan. Pemerintah tidak berupaya mendukung perkembangan pangan lokal. Kalau di-support, bulan-bulan seperti sekarang pasti masih banyak sagu di hutan dan umbi di tanah yang siap panen," papar Masyhuri.
Saat ini, dunia, kata Masyhuri, sedang dilanda krisis pangan yang mendorong negara produsen beras seperti India harus menghentikan ekspor beras untuk menjaga stok dalam negeri. Sebelumnya, Vietnam juga memberlakukan kebijakan yang serupa.
Sementara Indonesia masih menyepelekan masalah pangan dengan hanya menjadikannya sebagai naskah pidato, sementara praktiknya masih sangat jauh dari yang diharapkan.
"Dunia sedang krisis beras, kita masih santai-santai saja. Kerja standar saja masih banyak yang tidak dikerjakan," tandas Masyhuri.
Gagal Panen
Guru Besar bidang Kemiskinan dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan untuk mencegah terulangnya bencana kelaparan di Papua, pemerintah perlu mengantisipasi kemiskinan dan kelaparan dalam satu konteks, bukan dua masalah yang berbeda.
"Kita sering mendengar petani merugi karena gagal panen akibat cuaca. Padahal, para ahli sudah berulang kali memperingatkan ancaman kelaparan dan kemiskinan karena perubahan iklim seperti El Nino," kata Bagong.
Pemerintah, paparnya, belum menyiapkan program yang benar-benar mendasar untuk mengantisipasi bencana tersebut. Di satu sisi, petani kesulitan mendapatkan beras murah karena harga terus naik, padahal mereka yang menanam. Gabah mereka pun selalu dibeli dengan harga murah oleh tengkulak.
"Selama ini, perencana kebijakan masih menganggap perubahan iklim dan kemiskinan sebagai dua masalah berbeda, kelihatan dari program-program yang disiapkan masih berjalan terpisah, belum untuk mengatasi dua persoalan dalam satu konteks," katanya.
Oleh karena itu, perlu keberpihakan pada petani, kebijakan pertanian dan perdagangan yang harus memprioritaskan kesejahteraan petani. "Itu dikombinasikan dengan intensifikasi diversifikasi produk, dan pertanian yang berkelanjutan," tutur Bagong.
Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah harus secepatnya menyalurkan bantuan ke Papua Tengah.
Soal kekeringan ini, kata Esther, yang bisa menolong adalah teknologi.
"Jadi saatnya menggunakan teknologi seperti hujan buatan atau teknologi yang lain untuk bisa menghindari kekeringan," ungkap Esther.
Rekayasa teknologi sangat penting untuk membantu manusia tidak hanya untuk menghadapi fenomena perubahan iklim, tetapi juga untuk lahan pertanian supaya produktivitasnya meningkat.
Ke depan, produksi pangan Indonesia bisa cukup tanpa harus impor meski ada fenomena alam El Nino. Pendekatan teknologi bisa diterapkan untuk meningkatkan dan menjaga kualitas pangan lokal seperti yang dilakukan Thailand, Vietnam, Belanda, dan negara produsen lainnya yang mampu meningkatkan produksi karena rekayasa teknologi.