JAKARTA -Membaiknya situasi pandemiCovid-19 di seluruh dunia memantik kembali harapan para orang tua untuk memberangkatkan anaknya menempuh pendidikan di universitas terbaik dunia, seperti Stanford, MIT, dan UC Berkeley. Sayangnya, perjuangan menembus universitas-universitas yang tergabung dalam asosiasi Ivy League ini tidaklah mudah.

Terlebih tahun ini, hampir seluruh universitas terbaik dunia mencatatkan angka rata-rata penerimaan yang semakin rendah seiring tingginya minat calon mahasiswa. Untuk menembus ketatnya seleksi pendaftaran di universitas-universitas tersebut, tentunya para orang tua membutuhkan informasi memadai untuk mempersiapkan putra-putrinya dengan sebuah strategi khusus.

Former Associate Director of Admissions di Stanford University Daniel Chung, mengatakan banyak orang tua yang hanya berfokus pada nilai akademik untuk mengantar anak-anaknya masuk ke universitas pilihan. Praktik semacam ini umum berlaku di sistem pendidikan berbagai negara.

Namun, berbeda halnya jika ingin memasuki universitas sekelas Ivy League di Amerika Serikat (AS), cemerlang secara akademis saja belumnya memadai. Siswa yang tidak mencantumkan aktivitas ekstrakurikuler dan pengalaman kepemimpinan dalam aplikasinya akan sulit dipertimbangkan masuk ke universitas AS mana pun apalagi Ivy League," papar dia dalam konferensi pers virtual Rabu (10/8).

Setiap tahunnya, universitas-universitas unggulan di AS menerima puluhan ribu aplikasi, tetapi hanya sebagian kecil mahasiswa yang diterima. Saat menyeleksi puluhan ribu aplikasi umumnya dari siswa-siswi berprestasi seluruh dunia pihak universitas akan menilai calon mahasiswa secara holistik, sehingga kegiatannya di luar ruang kelas turut memberikan bobot yang besar.

Ia mengungkapkan, sebagai contoh, Stanford menolak 69 persen calon mahasiswa dengan skor Scholastic Aptitude Test (SAT) sempurna dalam lima tahun terakhir. Universitas-universitas unggulan di AS seperti Stanford ingin melihat mahasiswa yang dapat membawa pengaruh positif bagi budaya kampus dan menambah kekayaan sejarah alumninya, sehingga tolok ukur tidak lagi sekadar skor SAT sempurna, tetapi juga kegiatan ekstrakurikuler dan pengalaman kepemimpinan.

, Country Manager, Indonesia at Crimson Education Vanya Sunanto, pihaknya menjadi konsultan pendidikan yang menyediakan bimbingan bagi siswa-siswi sekolah menengah yang berambisi untuk menembus ketatnya seleksi penerimaan di universitas-universitas kelas dunia. Layannya fokus dalam pembimbingan siswa sekolah menengah melampaui standar menjadi siswa cemerlang secara akademis untuk menembus seleksi masuk universitas unggulan.

"Bersama Crimson, siswa akan dibimbing menjalankan inisiatif yang sesuai minat dan ketertarikan mereka dengan menyoroti kreativitas, kemampuan analisis, kemampuan berpikir kritis, dan berbagai hal lainnya yang akan menjadi bekal mereka dalam perkuliahan nanti," kata dia.

Dengan bimbingan yang ang ditawarkan, siswa berkesempatan untuk menonjolkan diri dan menunjukkan kepada pihak universitas bahwa mereka memiliki segala kualitas yang pihak universitas cari dalam diri mahasiswa tingkat sarjananya. Kemampuan yang harus dimiliki adalah kecerdasan, kepraktisan, keberanian, kedewasaan, fokus, determinasi, kemampuan untuk bertindak lanjut (follow-through), serta kemampuan berorganisasi, dan kepemimpinan.

"Statistik kami telah membuktikan bahwa nilai pendekatan ini berhasil lebih baik dibandingkan dengan siswa yang sekadar cemerlang secara akademis dalam penerimaan universitas kelas dunia," papar Vanya.

Siswa yang mampu mempertahankan minatnya secara konsisten dalam satu kegiatan ekstrakurikuler selama beberapa tahun memang akan lebih dilirik, tetapi bukan berarti kegiatan ekstrakurikuler harus selalu menjadi komitmen jangka panjang. Setiap siswa berbeda beberapa mungkin mengisi kalender mereka dengan 20 kegiatan berbeda setiap minggu.

Selain itu siswa pernah memiliki dua atau tiga kegiatan utama yang selaras dengan minat mereka triknya adalah menemukan minat yang menampilkan keragaman dan juga menunjukkan well-lopsidedness atau kecondongan.

'Well-lopsided' bukanlah sekadar 'cukup jago' dalam beberapa bidang yang berbeda, tetapi juga berprestasi dalam satu bidang tertentu. Universitas-universitas unggulan di AS tidak menginginkan 5.000 siswa yang 'sedang-sedang saja' dan sebelumnya terlibat dalam kegiatan berorganisasi di sekolahnya, sepak bola, atau pengabdian masyarakat.

Mereka menginginkan 5.000 calon mahasiswa yang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Dengan menjadi kuat dalam satu bidang dan menjadi salah satu yang terbaik dalam bidang tersebut, profil siswa akan terlihat menonjol di mata pihak universitas.

Vanya menambahkan, sistem pendidikan di AS yang unik dan khusus umumnya akan sedikit menyulitkan siswa-siswi dari belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia, karena adanya perbedaan kurikulum akademik dan ekosistem ekstrakurikuler. Sebagai perbandingan, untuk menjadi mahasiswa di AS, seorang siswa setidaknya perlu memiliki tiga modal utama.

Tiga modal utama dimaksud adalah hasil akademik (berbobot 40 persen yang terdiri dari nilai transkrip akademik, SAT/ACT, dan AP/IB/A-Levels/GPA), serta kegiatan ekstrakurikuler dan kepemimpinan juga hasil esai dan wawancara (yang sama-sama berbobot 30 persen). Inilah yang perlu disadari dengan cermat.

"Calon mahasiswa dari Indonesia mulai sekarang perlu memiliki setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Kegiatan tersebut juga perlu menjadi fokus sejak dini, karena konsistensi adalah kunci untuk membangun profil ekstrakurikuler yang kuat yang juga secara simultan mencerminkan karakter kepemimpinan siswa, termasuk kepemimpinan terhadap diri sendiri," tutur Vanya Sunanto.

Baca Juga: