Pemerintah harus mengaudit secara total pengelolaan sumber daya alam (SDA) logam di Indonesia, sebagai buntut dari hasil temuan KPK soal 5,3 juta ton ekspor nikel ilegal.

JAKARTA - Posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar global ternyata tak berbanding lurus dengan besarnya ekspor komoditas logam tersebut. RI tak masuk dalam 15 negara eksportir nikel terbesar di dunia, sementara posisi pertama justru dikuasai Filipina.

Padahal, jumlah nikel yang keluar dari RI ditengarai sangat besar. Diduga kuat hal itu disebabkan ulah dari eksportir nikel ilegal. Mereka meraup untung besar dari penjualan komoditas sumber daya alam (SDA) itu di pasar gelap.

Pengamat ekonomi, Salamudin Daeng, mengatakan negara eksportir nikel terbesar di dunia adalah Filipina dengan volume ekspor hanya 350 ribu ton. Padahal, produksi nikel di Indonesia justru sekitar lima kali lipat lebih besar dari ekspor Filipina, yakni sekitar 1,6 juta ton.

"Tetapi dari 15 negara eksportir nikel terbesar di dunia, tidak ada nama Indonesia. RI tidak ada namanya dalam 15 negara sebagai negara eksportir nikel terbesar di dunia. Ini ajaib," tandas Daeng kepada Koran Jakarta, Senin (24/7).

Menurut Daeng, produksi nikel Indonesia merembes ke pasar global secara ilegal. Dugaan tersebut terkait laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu yang mengumumkan adanya ekspor ilegal 5,3 juta ton dari Indonesia.

Berdasarkan hasil kalkulasi Daeng, jika harga nikel 21 ribu dollar per ton, nilai ekspor nikel ilegal sebanyak lima juta ton bisa mencapai 105 miliar dollar AS atau setara 1.576,97 tiliun rupiah (kurs saat ini 15.018,74 rupiah/dollar AS). Menurutnya, angka itu bisa membangun lima ibu kota baru, 100 pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT), dan 50 kilang minyak.

"Ini Indonesia tengah digarong habis habisan. Bagaimana ini bisa terjadi di depan mata, ekspor nikel lima juta ton itu diangkut dengan 5.000 kapal besar melalui selat Malaka," ucapnya.

Audit Total

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, meminta pemerintah mengaudit total pengelolaan nikel di Indonesia, sebagai buntut dari temuan KPK soal 5,3 juta ton ekspor nikel ilegal. Sugeng menegaskan nikel merupakan komponen penting dalam energi storage atau baterai, baik itu untuk menyimpan energi maupun kendaraan listrik.

"Maka pengelolaan nikel sudah harus mulai kita audit total. Kenapa? Karena begitu konsep hilirisasi itu hanya meningkatkan dari ore atau tanah, menjadi bahan setengah jadi dan itu langsung diekspor," jelasnya dikutip dari laman resmi DPR RI, Senin (24/7).

Menurutnya, konsep pengelolaan nikel semestinya bukan lagi pada tahap hilirisasi, melainkan industrialisasi. "Seharusnya korporasi-korporasi, yang diprakarsai oleh Antam, misalnya, bermitra dengan yang punya litium, yang punya kobalt. Mendirikan pabrik baterai di sini dengan tahapan utamanya nikel. Mestinya itu. bukan seperti hari ini, dalam konsep hilirisasi dengan hanya smelterisasi yang hanya memproduksi nikel iron, sama juga nikel mart," kata Sugeng.

Baca Juga: