YOGYAKARTA - Kebijakan mengizinkan ekspor pasir laut atau istilah pemerintah ekspor sedimentasi ini mengancam wilayah Indonesia. Kebijakan yang sungguh ironis karena satu-satunya negara yang akan membeli pasir laut dari Indonesia adalah Singapura, yang menggunakan pasir tersebut untuk memperluas wilayah daratannya melalui proyek reklamasi.
"Sangat disayangkan, ketika daratan Indonesia menyusut akibat pengerukan pasir laut, Singapura justru semakin meluas. Ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga bisa memengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura," kata pakar ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, kepada Koran Jakarta, Rabu (25/9).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menuai kritik dengan kebijakan terbaru terkait izin ekspor pasir laut, hanya beberapa bulan menjelang akhir masa jabatannya. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang sejak 2003 oleh pemerintahan Presiden Megawati melalui SK Menperindag No 117/MPP/ Kep/2/2003.
Kebijakan yang diklaim Jokowi sebagai "pengelolaan hasil sedimen laut" ini menuai banyak kritik. Fahmy menegaskan meskipun Presiden Jokowi menyebut ekspor tersebut sebagai hasil sedimen laut, faktanya, material yang diambil tetap berupa pasir laut.
"Apa pun istilahnya, pengerukan pasir laut berpotensi menimbulkan kerusakan besar terhadap ekosistem laut dan lingkungan," ungkap Fahmy.
Dampak Jangka Panjang
Fahmy memperingatkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini, termasuk potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia dan ancaman bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari laut.
Menurut Fahmy, kebijakan ini tidak hanya berpotensi merusak lingkungan, tetapi juga secara ekonomi tidak seimbang. Ia mengutip pernyataan Kementerian Keuangan yang menyatakan kontribusi pendapatan dari ekspor pasir laut tidak signifikan, sementara biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ekspor ini justru lebih besar. "Kebijakan ini tidak layak diteruskan jika dilihat dari perbandingan biaya kerusakan lingkungan dengan pendapatan yang dihasilkan," tambahnya.
Fahmy mendesak pemerintah segera menghentikan kebijakan ekspor sedimen laut ini. "Kebijakan ini harus dihentikan demi kebaikan rakyat dan kelestarian lingkungan kita," tuturnya.
Meskipun Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan kebijakan ini tidak akan menjual negara, Fahmy tetap berpendapat ekspor pasir laut secara simbolis adalah bentuk "menjual Tanah Air", yang merepresentasikan bangsa dan kedaulatan negara.