JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (29/10) kembali tergelincir seiring dengan menurunnya ekspektasi pasar terhadap pemotongan suku bunga kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) Fed Funds Rate (FFR) yang agresif. Pada akhir perdagangan Selasa, kurs rupiah merosot 47 poin atau 0,30 persen menjadi 15.771 per dollar AS dari sebelumnya sebesar 15.724 per dollar AS.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kepada Antara di Jakarta, Selasa (29/10), mengatakan beberapa data AS mencatat angka yang lebih tinggi dari perkiraan sehingga ekspektasi terhadap ekonomi yang robust meningkat.

"Hal itu kemudian menekan ekspektasi penurunan suku bunga kebijakan yang agresif oleh the Fed pada 2025," kata Josua. Berdasarkan data FedWatch Tool, ekspektasi penurunan suku bunga tahun depan hanya 75 basis poin (bps), di bawah prospek the Fed sebesar 100 bps saat pertemuan September 2024. Josua menuturkan rupiah terdepresiasi signifikan sejalan dengan data AS yang solid dan meningkatnya ketidakpastian kondisi politik di Jepang.

Ketidakpastian ekonomi di Jepang disebabkan oleh hasil pemilu Jepang pada 27 Oktober 2024, di mana partai pemerintah saat ini tidak mendapatkan suara mayoritas di Parlemen Jepang. "Hasil pemilu di Jepang menunjukkan bahwa fraksi pemerintah saat ini kehilangan mayoritas di parlemen, meningkatkan ketidakpastian mengenai bagaimana pemerintah akan dibentuk," katanya. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, pada Selasa, turun ke level 15.760 per dollar AS dari sebelumnya sebesar 15.729 per dollar AS.

Pengendalian Impor

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan di tengah situasi penguatan dollar AS, pemerintah perlu menurunkan kebergantungan pada dollar melalui kebijakan pengendalian impor. Pengendalian impor perlu dilakukan pada banyak sektor karena membuat kebergantungan pada dollar AS tinggi. Defisit minyak dan gas bumi (Migas) jadi salah satu kontributor terbesar dalam permintaan valas.

"Solusinya adalah mempercepat transisi energi dengan program dedieselisasi atau mengganti mesin diesel atau PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) dengan sumber energi alternatif," ungkap Bhima. Selain itu, perlu juga pemerintah menekan angka impor pangan terutama untuk memasok program makan bergizi gratis. Sementara itu, pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, mengatakan pasar masih menunggu kelanjutan situasi di Timur Tengah usai serangan Israel ke beberapa negara di sekitarnya.

Selain itu, pasar juga masih mengantisipasi kemenangan Donald Trump di pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pekan depan di mana Trump bisa kembali memicu perang dagang dan memberikan sentimen negatif ke perekonomian global sehingga dollar AS pun menjadi alternatif aset aman.

Baca Juga: