JAKARTA- Forum Komunikasi Alumni SMA Kanisius angkatan 1983 dan Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI 1983) merasa prihatin dengan rekan mereka Ardi Sedaka mantan Client Relationship Head Bank Permata yang saat ini menjadi salah satu dari delapan orang terdakwa dalam perkara tindak pidana perbankan yang didakwa denganPasal 49 Ayat 2b juncto 55 KUHP ayat pasal 64 ayat 1 KUHP. Ardi Sedaka menurut mereka menjadi korban kriminalisasi karena tuduhan yang didakwakan dinilai cacat hukum.

"Kami menggalang persatuan untuk mencari keadilan buat Ardi Sedaka yang sudah sejak bulan Juni 2020 berada dalam tahanan Rutan Bareskrim," ujar Juru BicaraForum Komunikasi Alumni SMA Kanisius angkatan 1983 sekaligus Kuasa Hukum Ardi,Didit Wijayanto Wijaya di Jakarta Selasa (21/7).

Kasus yang diduga melibatkan Ardi kata Didit tengah bergulir di Pengadilan Jakarta Selatan (PN Jaksel). Namun menurut Didit,sidang perkara tindak pidana perbankan dimaksud diduga banyak kejanggalan pada berkas perkara penyidikan yang terungkap di persidangan. Selain itu terdapat cacat formil dari surat dakwaan.

Lanjut Didit, kejanggalan berkas perkara penyidikan yakni saksi Pelapor AKP Karta adalah penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) dengan membuat laporan model A, yang artinya laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri. Menurut Didit, laporan Model A tersebut ternyata hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) dengan plafon kredit senilai 1,6 triliun rupiah dan menyisahkan outstanding kredit kurang lebih 750 miliar rupiah.

Menurut Didit, dalam laporan tidak tercantumkan siapa Terlapor, dan pasal yang dilaporkan adalah Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan, serta Pasal 3,4 dan 5 UU Pencucian Uang, serta hanya berdasarkan asumsi atau indikasi terjadinya tindak pidana. Padahal Pasal 49 Ayat 1 (a/b/c) dan Ayat 2b merupakan delik formil atau hanya merupakan suatu perbuatan dari pejabat bank saja yang tidak ada dan tidak mungkin dilakukan pencucian uang, yang menunjukkan sudah sangat jelas laporan yang dibuat adalah dipaksakan, rekayasa, dan sangat tidak masuk akal.

"AKP Karta selain jadi saksi pelapor ternyata juga menjadi penyidik perkara pidana ini, hal yang pernah dikatakan oleh Ahli Arbijoto adalah "abuse of power" dalam persidangan perkara pidana yang berbeda beberapa tahun silam; dan bahkan dalam perkara pidana lainnya, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian, karena saksi penangkap juga merupakan bagian dari penyidik yang mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana," tegasnya.

Selain itu kata Didit, saksi Adief Razali dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan bahwa indikasi yang terjadi berdasarkan hasil pemeriksaan tahunan terhadap Bank Permata atas rekening debitur MJPL ini hanya ditemukan indikasi double financing di dua bank lain, namun bank tersebut tidak menjadikan sebagai permasalahan hukum.

"Berbeda dengan yang terjadi di Bank Permata, para mantan karyawannya menjadi pesakitan, dan tidak ada rekomendasi dan atau audit investigatif yang dilakukan oleh OJK terhadap Bank Permata khususnya atas rekening debitur MJPL," katanya.

Didit menjelaskan, untuk Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan diperlukan terlebih dahulu adanya Surat Pembinaan, Surat Teguran, dan apabila bank tidak menetapkan langkah-langkah perbaikan maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu yang terhadap Bank Permata untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana Pasal 49 Ayat 2b tersebut. "Bahwa pihak ketiga / umum tidak bisa membuat laporan atas dugaan pelanggaran Pasal 49 Ayat 2b, yang secara jelas jika ada pihak selain OJK membuat laporan maka menjadi tidak masuk akal, karena "berdasarkan apa atau tahu darimana ada pejabat Bank Permata melakukan pelanggaran Pasal 49 A2b UU Perbankan tersebut?," tegasnya.

Tidak Tahu

Sementara kejanggalan yang terungkap dalam persidangan kata Didit, saksi-saksi yang lain, sebanyak 14 orang yang dihadirkan ternyata menyatakan tidak tahu perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka sehubungan dengan dakwaan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, selain hanya mengetahui adanya pemalsuan yang dilakukan oleh MJPL ketika melakukan pembobolan Bank Permata. "Ini jelas merupakan suatu kejanggalan karena keterangan saksi merupakan alat bukti utama dalam hukum acara pidana (pembuktian), apabila ternyata tidak ada saksi, mau kemana keadilan di negara kita ini?," tanyanya.

Dijelaskan Didit, ternyata Ardi Sedaka didakwa melakukan pelanggaran kebijakan / aturan internal Bank Permata berupa "trade checking" dan juga karena "tidak adanya Surat Permohonan Kredit" yang diajukan oleh debitur, padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata yang bisa kapanpun diganti secara internal, dan bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud. "Ketentuan mengenai "trade checking" tersebut tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan OJK manapun," imbuhnya.

Didit menegaskan, alangkah naif dan sangat ironis, Bank Permata kebobolan dan pengurus MJPL sudah dipidana namun ternyata ex-karyawan Bank Permata dianggap dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank. Padahal penerapan Pasal 49 Ayat 2b, adalah apabila bank melakukan pelanggaran ketentuan dari otoritas maka harus terlebih dahulu memperoleh teguran dan pembinaan terlebih dahulu.

"Setidaknya tiga kali peringatan, dan apabila bank tidak mematuhinya, barulah OJK melakukan investigasi untuk menerapkan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, karena UU Perbankan diterapkan berdasarkan asas ultimum remedium, yaitu penerapan administratif penal sebelum penerapan pemidanaan, dan wajib meminta keterangan dari OJK sebagai pihak yang paling memahami regulasi (Das sollen) dan paling memahami penerapan (Das sein) suatu regulasi dalam delik tindak pidana perbankan," katanya.bud/E-9

Baca Juga: