Prospek perekonomian di Asia diperkirakan sangat timpang tahun ini. Di saat ekonomi Tiongkok dan India tumbuh di atas delapan persen tahun ini, perekonomian di lima negara Asean, termasuk Indonesia, justru menghadapi tantangan berat.

JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF), Selasa (19/10) waktu Washington DC, Amerika Serikat (AS), memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Asia tahun ini. Revisi tersebut dilakukan mengingat munculnya sejumlah risiko yang dapat membebani prospek perekonomian regional, seperti gelombang baru infeksi Covid-19, gangguan rantai pasokan, dan tekanan inflasi.

Dalam laporan prospek regionalnya, IMF memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia tahun ini menjadi 6,5 persen, turun 1,1 poin persentase dari proyeksi yang dibuat pada April. Revisi itu karena lonjakan kasus varian Delta memukul konsumsi dan produksi pabrik.

"Kebangkitan kembali pandemi, di tengah tingkat vaksinasi yang awalnya rendah, memperlambat pemulihan di kawasan Asia Pasifik, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," kata Changyong Rhee, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF pada konferensi pers virtual.

Meskin demikian, IMF menaikkan perkiraan pertumbuhan Asia pada 2022 menjadi 5,7 persen dari perkiraan 5,3 persen pada April. Kondisi tersebut mencerminkan kemajuan dalam vaksinasi.

Mencatat bahwa Asia Pasifik tetap menjadi kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, Rhee mengatakan saat tingkat vaksinasi meningkat, kawasan ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,9 persen pada 2022, 0,4 poin persentase lebih cepat dari yang diproyeksikan pada April.

"Meskipun Asia dan Pasifik tetap menjadi kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, perbedaan antara ekonomi-ekonomi maju dan ekonomi-ekonomi emerging markets dan ekonomi berkembang semakin dalam," kata laporan itu.

IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok tumbuh 8,0 persen tahun ini dan 5,6 persen pada 2022. India diperkirakan akan tumbuh 9,5 persen tahun ini, sementara negara-negara maju seperti Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Taiwan mendapat manfaat dari ledakan teknologi dan komoditas tinggi.

Namun, negara Asean-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) masih menghadapi tantangan berat dari kebangkitan Covid dan kelemahan dalam konsumsi jasa.

Sementara ekspektasi inflasi secara umum mengakar lebih dalam di Asia, harga-harga komoditas dan biaya pengiriman yang lebih tinggi, ditambah dengan gangguan yang berkelanjutan pada rantai nilai global, memperkuat kekhawatiran atas inflasi yang berkelanjutan.

Lanjutkan PEN

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute of Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mesti tetap berjalan meski pandemi Covid-19 telah berubah menjadi endemi. "Program PEN harus tetap dilanjutkan dengan porsi menyesuaikan, mungkin dengan nilai lebih kecil," katanya di Jakarta, Selasa (19/10).

Selanjutnya, menurut dia, pemerintah perlu menggenjot masuk investasi ke dalam negeri agar perekonomian cepat pulih, baik berupa investasi langsung maupun percepatan penyaluran anggaran pemerintah untuk program-program infrastruktur padat karya.

Dia mengatakan pemerintah perlu menarik investasi agar tercipta banyak lapangan kerja untuk masyarakat menengah ke bawah yang kehilangan pekerjaan selama penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Di samping itu, masyarakat menengah ke bawah juga perlu ditolong oleh pemerintah melalui program bantuan sosial yang terus berlanjut.

Baca Juga: