Potensi risiko ke depan masih besar akibat gejolak geopolitik global yang masih berlangsung, kenaikan harga energi dan pangan, serta tekanan dari keluarnya investasi portofolio asing yang menyebabkan penguatan dollar AS.

JAKARTA - Perekonomian nasional diperkirakan menghadapi tantangan relatif berat pada kuartal II dan III tahun ini di tengah ketidakpastian kondisi global. Apabila tak diwaspadai, risiko perekonomian Indonesia terperosok ke tubir resesi teknis terbuka, seperti beberapa negara lain.

Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk, Andry Asmoro, memperingatkan tantangan ekonomi Indonesia akan datang pada kuartal II dan III 2024.

"Bagi domestic economy (ekonomi dalam negeri) sendiri, national election (pemilihan umum) kemarin memberikan dorongan kinerja untuk di first quarter (kuartal I-2024) tumbuh 5,11 persen. Cuma kita melihat tantangannya bukan di kuartal I, tapi di kuartal II, kuartal III nanti," katanya dalam agenda rutin Mandiri Macroeconomic Outlook secara virtual, Jakarta, Selasa (14/5).

Pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan I-2024 mencapai 5,11 persen, lebih tinggi dibandingkan 5,04 persen di kuartal sebelumnya. Capaian ini didorong akselerasi belanja pemerintah, terutama terkait pemilihan umum (pemilu) yang juga bersamaan dengan pembayaran tunjangan hari raya (THR) seiring Ramadan 1445 Hijriah.

Tingkat konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh positif sebesar 4,91 persen dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) 54,93 persen pada triwulan I-2024 menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi.

"Kuartal I ini sudah mendapatkan dorongan yang luar biasa besar dari sisi politik, election, dan juga dari bulan Puasa dan Lebaran. Sementara Lebarannya ada di awal April, mungkin kinerja April masih sedikit bagus, nanti mulai challenge pada Mei ini dan pada Juni. Bulan Juni ada yang namanya back to school period, musim liburan juga, ini biasanya berdampak kepada sektor ritel atau FMCG (Fast-Moving Consumer Goods)," ungkap Andry.

Tantangan ekonomi Indonesia dipengaruhi risiko geopolitik karena eskalasi konflik di Timur Tengah yang mendorong kenaikan harga minyak serta memicu volatilitas pasar keuangan global.

Nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga sempat menyentuh posisi 16.260 rupiah per dollar Amerika Serikat (AS), terlemah sejak 2020. Menyikapi keadaan tersebut, Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), pada April 2024, menaikkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps (basis points) mencapai 6,25 persen untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik.

Pelemahan kondisi ekonomi global berimbas terhadap komponen investasi dan neraca perdagangan. Pertumbuhan investasi pada kuartal I masih cenderung lambat, terutama diakibatkan rendahnya investasi non-bangunan. Kinerja neraca perdagangan masih mencatatkan surplus meski dengan nilai yang terus menurun.

Artinya, potensi risiko ke depan masih besar akibat gejolak geopolitik global yang masih berlangsung, kenaikan harga energi dan pangan, serta tekanan dari keluarnya investasi portfolio asing yang menyebabkan penguatan dollar AS.

Potensi Resesi

Apabila tak hati-hati mengelola risiko tersebut, perekonomian nasional dapat terperosok ke jurang resesi. Dalam logika ekonomi, resesi terjadi jika perekonomian terkontraksi atau tumbuh minus dalam dua kuartal berturut-turut.

Meski demikian, pemerintah optimistis kemungkinan Indonesia mengalami resesi ekonomi sangat kecil. "Probabilitas resesi Indonesia hanya 1,5 persen, lebih rendah dibanding hampir semua negara," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan probabilitas tersebut lebih kecil bila dibandingkan negara-negara lain, seperti Jerman yang 60 persen, Italia (55 persen), Inggris (40 persen), Australia (32,5 persen), Amerika Serikat (30 persen) Thailand (30 persen), Russia (17,5 persen), Korea Selatan (15 persen), Tiongkok (12,5 persen).

Baca Juga: