» Rantai pasokan yang tersumbat menyebabkan kelangkaan, sehingga harga bahan baku meningkat.

» Pemerintah diminta tidak membuat kebijakan kontraproduktif yang membuat pemulihan terhambat.

JAKARTA - Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 3,7 persen pada 2021, lalu meningkat menjadi 5,2 persen pada 2022. Perkiraan tersebut dengan asumsi tidak ada gelombang parah Covid-19 lainnya dan tingkat vaksinasi di Indonesia terus bertahan tinggi seperti saat ini.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, dalam peluncuran laporan prospek ekonomi Indonesia secara virtual di Jakarta, Kamis (16/12), mengatakan ekonomi akan terus pulih dengan penyeimbangan berbagai sumber pertumbuhan.

Angka vaksinasi yang tinggi juga mendorong pemulihan terutama permintaan dari masyarakat dan sektor swasta.

Seiring dengan pulihnya permintaan, inflasi pada tahun ini akan mencapai 1,6 persen atau masih bertahan cukup rendah karena permintaan masih terbatas dan terkendalinya inflasi dari produsen ke konsumen.

"Indonesia sudah bisa berbeda dengan tren global di mana inflasi melonjak sangat tinggi," kata Habib.

Kendati demikian, dia memperkirakan inflasi akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan, walaupun masih akan berada di angka yang diharapkan pemerintah, sehingga kemungkinan akan berada di level 2,2 persen pada 2022.

Dengan perkiraan yang positif itu, masih banyak ketidakpastian dan beberapa risiko dampak jangka panjang dari Covid-19 untuk Indonesia. Risiko tersebut adalah peningkatan pengangguran, penurunan investasi, hingga penurunan pertumbuhan potensial.

"Sejak 2010-2019 ini terus menurun dan terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain dan itu akan jauh lebih cepat lagi penurunannya karena adanya investasi yang berkurang," pungkasnya.

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Wasiaturrahma, yang diminta pendapatnya mengatakan enam bulan yang lalu, ekonomi global tampaknya berada di jalur pemulihan yang relatif kuat.

Pasokan vaksin Covid-19 telah meluas di negara-negara maju, meningkatkan harapan bahwa vaksin itu akan menyebar ke negara-negara berkembang pada paruh kedua tahun 2021 dan hingga 2022. Banyak ekonomi mencatat angka pertumbuhan yang mengesankan ketika sektor-sektor yang tertekan karena pandemi dibuka kembali.

"Sementara rantai pasokan yang tersumbat telah membuat sejumlah kelangkaan dan menyebabkan harga menjadi ada peningkatan yang cukup tinggi untuk bahan baku dasar (input utama), ini hanya dilihat sebagai masalah sementara," tuturnya.

Dunia, tambah Rahma, terlihat sangat berbeda saat ini akibat penyebaran varian Delta yang cepat dan ada kasus baru lagi yaitu Omicron.

Dalam kesempatan terpisah, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menegaskan pemerintah harus berhati-hati merespons masuknya varian baru Omicron di Indonesia.

"Jika pemerintah tidak tepat mengendalikannya maka proyeksi pertumbuhan yang disampaikan Bank Dunia itu akan meleset," kata Fahmy.

Pemerintah pada semester I tahun depan harus fokus mengendalikan sebaran Omicron dulu, sambil mendorong agar konsumsi tetap tumbuh.

"Jangan di satu sisi lakukan pengendalian, tapi di sisi lain dorong pertumbuhan dengan naikan tarif listrik dan BBM. Itu kontraproduktif," tegas Fahmy.

Rencana menaikkan tarif listrik di tengah pemulihan tentu akan mendorong inflasi sehingga kembali memukul daya beli masyarakat bawah yang tengah merangkak keluar dari krisis.

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi (IE) Institut Pertanian Bogor (IPB), Sahara, menegaskan kuncinya ialah pada pengendalian kasus Covid. Proyeksi Bank Dunia, papar dia, dibuat dengan asumsi kasus Covid tidak meningkat.

"Jika kasus Covid meningkat tentu pertumbuhan akan lebih rendah. Angka 5 persen terlampau tinggi," katanya.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan kalau melihat skema penanganan pandemi Covid-19 selama ini proyeksi itu bisa saja tercapai, tetapi belum tentu berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan yang semakin meningkat pascapandemi. Ekonomi juga akan mudah terkoreksi jika pertumbuhan ekonomi tersebut tidak ditopang oleh ekonomi kerakyatan.

"Jadi, poinnya harus perbanyak kebijakan yang langsung menyentuh rakyat semisal program padat karya tunai," kata Awan.

Baca Juga: