» Raksasa ekonomi terbesar kedua dunia, Tiongkok dengan perkiraan PDB tumbuh 5,5 persen pada 2023.

» Untuk negara maju justru mengalami perlambatan karena ketatnya pasar tenaga kerja dan kondisi ketidakpastian pasar keuangan global.

JAKARTA - Indonesia perlu berhati-hati dalam menyikapi dinamika perekonomian dunia, terutama kondisi pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok. Perlunya meningkatkan kewaspadaan itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (5/6).

"Perekonomian kita masih ekspansif. Di satu sisi tetap optimis, tapi di sisi lain tetap harus hati-hati karena memang risikonya cukup nyata," kata Menkeu.

Khusus perekonomian nasional, beberapa indikator masih ekspansif seperti terlihat pada optimisme masyarakat yang menguat serta peningkatan Mandiri Spending Index. Namun demikian, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur menunjukkan kinerja yang perlu diwaspadai. Data terbaru menunjukkan PMI berada di level 50,3 pada Mei 2023, lebih rendah dari indeks April 2023 yang tercatat 52,7.

"PMI manufaktur melemah dibanding bulan lalu. Namun, kita masih ekspansif. Kalau kita lihat negara-negara lain masih kontraktif, bahkan Vietnam yang selama ini dalam posisi kuat juga sedang dalam posisi kontraktif," paparnya.

Lebih lanjut dikatakan, pertumbuhan ekonomi mitra dagang masih tertekan. Meski perekonomian AS masih tangguh dan tidak masuk ke dalam jurang resesi, namun pertumbuhannya hanya sedikit berada di atas 1 persen. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Eropa hanya berkisar 0 hingga 1 persen.

Di sisi lain, Tiongkok mengalami pertumbuhan yang moderat, yakni di kisaran 3 persen pada kuartal I-2023. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari prakiraan sebelumnya ketika mereka membuka kembali perekonomian dan mobilitas masyarakatnya.

"Ini menggambarkan bahwa higher for longer bisa menghasilkan perekonomian weaker for longer juga, baik untuk Eropa, Amerika, dan eksternal kita, termasuk Tiongkok," katanya, seperti dikutip dari Antara.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global mencapai 2,8 persen pada tahun 2024, sedangkan tahun ini sedikit lebih rendah yaitu 2,7 persen. Pertumbuhan itu terutama didukung oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang diperkirakan akan lebih baik seperti India dan Asean-5.

Produk Domestik Bruto (PDB) India tahun ini diperkirakan tumbuh 5,8 persen dan tahun depan mencapai 6,2 persen. Pertumbuhan tersebut disebabkan oleh faktor meningkatnya permintaan domestik yang cukup kuat di India.

Begitu juga dengan negara-negara Asean-5 yang mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. PDB negara Asean-5 tumbuh 5,1 persen pada 2023, dan diprediksi terus mengalami pertumbuhan 5,5 persen pada 2024.

Pertumbuhan yang sama juga terjadi pada raksasa ekonomi terbesar kedua dunia yaitu Tiongkok dengan perkiraan PDB tumbuh 5,5 persen pada 2023, meskipun diprediksi mengalami penurunan jadi 4,8 persen pada 2024.

Untuk ekonomi negara maju, BI, kata Perry, memperkirakan justru mengalami perlambatan karena ketatnya pasar tenaga kerja serta kondisi ketidakpastian pasar keuangan global.

Sama halnya dengan negara kawasan Eropa yang juga tercatat hanya mengalami pertumbuhan PDB 0,6 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada 2022 sebesar 3,6 persen.

Tahan Impor

Menanggapi kekhawatiran dinamika perekonomian dunia, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengimbau pemerintah tetap fokus mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. "Kita tidak perlu khawatir dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di negara maju, asal pemerintah fokus meningkatkan produksi dalam negeri," kata Eugenia.

Pertumbuhan ekonomi global yang melambat, otomatis akan menyebabkan penurunan ekspor. Sebab itu, pemerintah harus memikirkan bagaimana agar impor juga berkurang.

Apabila impor turun pada tingkat yang sama dengan penurunan ekspor maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap. Sebagai contoh pada industri tekstil, di mana ekspor Indonesia sudah tidak ada. Kalau saja pemerintah dapat menahan agar tekstil impor tidak masuk ke Indonesia maka tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar pada industri tersebut, dan pabrik tekstil masih dapat bekerja untuk memenuhi konsumsi di dalam negeri.

"Jadi yang perlu dilakukan pemerintah adalah menahan impor barang jadi dan jasa, lalu fokus pada produksi di dalam negeri," katanya.

Baca Juga: