>> Pelemahan industri Tiongkok dan ekonomi Jerman tingkatkan kecemasan investor.

>> Trump tunda tarif tambahan 10 persen bagi impor dari Tiongkok jadi 15 Desember.

JAKARTA - Setiap hari rangkaian berita buruk muncul mempertegas risiko bahwa ekonomi global menghadapi pelemahan yang serius. Tiongkok melaporkan pertumbuhan produksi industri terlemah sejak 2002.

Ekonomi Jerman juga menyusut akibat penurunan kinerja ekspor, dan produksi kawasan euro merosot paling tajam dalam lebih dari tiga tahun karena keseluruhan ekspansi mandek. Di sisi lain, pasar obligasi Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengirimkan peringatan resesi terbesar sejak krisis keuangan global.

Sementara itu, di tengah-tengah ancaman resesi global itu, Indonesia diharapkan segera mengantisipasi dengan membenahi kinerja perdagangan dan investasi. Apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo kesulitan memacu ekspor dan investasi hingga akhir tahun ini, maka sebaiknya pengendalian impor menjadi prioritas utama tim ekonomi.

Investor global meningkatan kekhawatiran soal perlambatan ekonomi dunia, karena data industri Tiongkok yang lebih lemah dari perkiraan semakin mempertajam kemerosotan pada ekonomi terbesar kedua dunia itu.

Data resmi yang dirilis pada Rabu (14/8) menunjukkan pertumbuhan output industri melambat 4,8 persen pada Juli lalu, dibandingkan periode sama setahun sebelumnya. Ini merupakan pertumbuhan terburuk dalam 17 tahun.

Kemudian, Jerman menambah kecemasan setelah Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu turun 0,1 persen pada April-Juni tahun ini, sehingga memicu kekhwatiran atas resesi pada ekonomi terbesar di Eropa itu. PDB area euro juga hanya tumbuh 0,2 persen secara kuartalan. Ini merupakan penyusutan yang signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan 0,4 persen yang dilaporkan pada tiga bulan pertama tahun ini.

Pasar keuangan AS pada pembukaan perdagangan Rabu (tadi malam) juga mengirimkan alarm resesi. Bursa saham AS jatuh, membalik reli yang dibukukan Selasa (13/8), setelah pasar obligasi Paman Sam tersebut kian kencang mengirimkan sinyal resesi.

Berbarengan dengan koreksi indeks Dow Jones dan Nasdaq, imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun jatuh di bawah yield obligasi jangka pendek tenor dua tahun. Fenomena ganjil pada pasar obligasi itu dipercaya merupakan indikasi resesi ekonomi.

Akibatnya, investor memburu aset yang lebih minim risiko hingga mendorong yield obligasi tenor 30 tahun menyentuh rekor terendahnya. "Bursa saham AS kehabisan waktu di tengah inversi kurva yield," tulis technical strategist Bank of America, Stephen Suttmeier, seperti dikutip CNBC International.

Menurut catatan Credit Suisse, inversi antara obligasi pemerintah AS tenor 2-tahun dan 10-tahun terjadi lima kali sejak 1978 dan semuanya mengindikasikan resesi, meski dengan tenggat yang panjang.

Pelaku pasar juga masih mewaspadai eskalasi perang dagang antara AS-Tiongkok dan sejauh mana dampaknya bagi ekonomi global setelah Beijing merilis data produksi manufaktur Juli yang melambat di bawah ekspektasi pasar.

Data tersebut keluar setelah AS mengumumkan penundaan tarif atas beberapa produk Tiongkok seperti pakaian dan ponsel yang semula terancam kena tarif impor sebesar 10 persen. Tarif itu akan ditunda menjadi 15 Desember, dari rencana semula pada 1 September tahun ini.

Presiden AS, Donald Trump, mengatakan kebijakan itu bertujuan untuk menghindari potensi dampak negatif yang bisa muncul menjelang musim belanja Natal. Dia juga menyatakan sikap ini akan membuat Tiongkok lebih terdorong untuk mencapai kesepakatan.

Jalur Perdagangan

Terkait dampak resesi bagi Indonesia, peneliti Indef, Aryo DP Irhamna, mengatakan kemungkinan krisis akan terjadi melalui jalur perdagangan yang akan berdampak pada depresiasi rupiah. Oleh karena itu, kinerja neraca perdagangan harus benar-benar menjadi perhatian, yakni dengan serius mengurangi impor barang konsumsi terutama barang yang bisa diproduksi di dalam negeri.

"Tapi kenapa impor barang konsumsi terus naik, dan terus dibiarkan," papar dia, ketika dihubungi, Rabu.

Menurut Aryo, masalah impor Indonesia terkait erat dengan praktik perburuan rente yang belum terlihat upaya serius untuk memberantasnya. Solusi utamanya terletak pada seberapa besar komitmen pemerintah untuk mengendalikan impor, serta membangun kemandirian nasional. "Soal pemburu rente ini adalah masalah vital bagi upaya kita dalam mengadang krisis ekonomi. Jangan sampai defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan membuat kita tak punya kekuatan mengadang krisis," tukas dia.SB/YK/WP

Baca Juga: