» Relaksasi PSBB mulai menggerakkan kembali aktivitas ekonomi.

» Skema stimulus untuk PEN diupayakan untuk menggerakkan sektor riil.

JAKARTA - Tekanan pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional diperkirakan masih berlanjut sepanjang tahun ini hingga tahun depan. Perekonomian baru akan normal atau pulih 100 persen seperti sebelumnya pada kuartal I-2022.

Menteri BUMN, Erick Thohir, di Jakarta, Kamis (9/7), mengatakan belum ditemukannya vaksin dari pandemi menjadi penyebab pemulihan tidak bisa berlangsung cepat. Hingga akhir tahun, dia memperkirakan pemulihan ekonomi kemungkinan hanya 40-60 persen. Baru pada 2021, kemungkinan pemulihan ekonomi bisa di atas 75 persen.

"Kemungkinan baru kuartal pertama tahun 2022 pemulihan bisa 100 persen seperti pada 2019," kata Erick.

Sebab itu, dia mengajak semua pihak agar sepakat bahwa Covid-19 selain harus menangani sektor kesehatan, sektor ekonomi juga harus ditangani secara bersamaan. Kementerian BUMN akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, serta semua kementerian dan lembaga pemerintah lainnya termasuk pemerintah daerah untuk mendukung pemulihan ekonomi, terutama kinerja bisnis BUMN.

Pemulihan kinerja bisnis perusahaan, terutama BUMN, jelasnya, sangat bergantung pada jenis bisnisnya. Dengan kondisi normal baru pola bisnis dan adaptasi dunia usaha pasti berubah. "Saya sangat berharap kinerja BUMN terus kita jaga, khususnya dalam menghadapi Covid-19 bisa juga membuat terobosan-terobosan yang dapat mengurangi beban masyarakat dan pemerintah," kata Erick.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perekonomian nasional pada kuartal II-2020 akan berkontraksi atau minus 3,8 persen dan dalam kisaran minus 3,5-5,1 persen.

Hal itu didasarkan pada realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang hanya mencapai 2,97 persen atau turun drastis dari rata-rata pertumbuhan hingga 5 persen. "Ini penurunan cukup tajam dibandingkan rata-rata pertumbuhan kita yang berada di atas 5 persen," kata Menkeu dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR yang membahas laporan semester I dan prognosis semester II Pelaksanaan APBN 2020.

Dengan melihat realisasi pada kuartal I-2020 dan perkiraan pada kuartal II- 2020, Menkeu memperkirakan perekonomian sepanjang semester I-2020 atau paruh pertama tahun ini berkontraksi 1,1-0,4 persen.

Pemerintah, tambah Menkeu, juga berupaya mendorong perekonomian sehingga terjadi pemulihan pada kuartal III yang diperkirakan membaik di kisaran minus 1 persen hingga tumbuh 1,2 persen. Sedangkan pada kuartal IV- 2020, Menkeu memperkirakan pertumbuhan ekonomi sudah positif dan berada di kisaran 1,6-3,2 persen.

"Proyeksi ekonomi kita masih bisa mencapai range yang mendekati nol persen atau bahkan positif yaitu antara minus 0,4 persen hingga tumbuh 1 persen tahun ini," katanya.

Sektor Riil

Menanggapi proyeksi yang disampaikan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan, Ekonom dari Centre for Strategist for International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan, mengatakan skema stimulus untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari sisi makro memang diupayakan untuk menggerakkan sektor riil.

"Dari sudut pandang makroekonomi, Kementerian Keuangan melihat pentingnya menstimulus sektor-sektor ekonomi, khususnya Produk Domestik Bruto (PDB), seperti sektor konsumsi rumah tangga dan investasi dari sisi pengeluaran serta sektor industri pengolahan dan perdagangan berdasarkan lapangan usaha," kata Fajar.

Relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah dimulai sejak minggu kedua Juni 2020 diakui memang untuk kembali menggerakkan aktivitas ekonomi nasional, mulai dari kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi.

Pada tahap implementasi, kata Fajar, dana stimulus yang dialokasikan khusus untuk BUMN, efeknya tidak secepat yang dibayangkan. "Saya pribadi beranggapan efeknya mungkin baru terjadi paling cepat di akhir tahun 2020 atau di akhir triwulan keempat 2020," kata Fajar.

Dengan relaksasi PSBB, dia yakin ekonomi tahun ini setidaknya mampu tumbuh positif meskipun hanya 0 persen, namun untuk kuartal II-200 sudah pasti akan negatif di kisaran minus 3-5 persen.

"Itu pun bisa lebih parah jika PSBB diberlakukan hingga September 2020. Indonesia bisa resesi kalo itu dilakukan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II dan III akan negatif," tutup Fajar. uyo/E-9

Baca Juga: