Indonesia dengan luas wilayah lautan 70 persen dan darat 30 persen semestinya bisa segera mempraktikkan blue economy.

JAKARTA - Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyatakan Indonesia patut mempertimbangkan konsep ekonomi biru (the blue economy) sebagai prioritas untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal, dalam keterangannya akhir pekan lalu, menyatakan ekonomi biru yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya laut atau perairan secara berkelanjutan memiliki peran penting dalam mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi. Dia juga menilai ekonomi biru akan berkontribusi pada transformasi sistem pangan di Indonesia.

Sementara itu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Fredinan Yulianda, menyoroti pentingnya adopsi teknologi terkini, peningkatan keterampilan sumber daya manusia, dan menjaga keselarasan dengan alam dalam mewujudkan budi daya perikanan yang terpadu.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Perikanan Univeritas Gadjah Mada (UGM), Suadi, mengatakan ada dua perspektif blue economy yang berkembang saat ini. Namun, dalam banyak praktik mutakhir dijadikan menjadi satu sehingga benar-benar tercipta ekonomi biru yang singular atau berkelanjutan.

Perspektif pertama dalam konteks ekonomi bisnis dan pembangunan di mana laut dilihat sebagai mesin penggerak ekonomi baru. Dalam SDGs pun kehidupan bawah laut menjadi salah satu tujuan baru pembangunan yang bisa menjadi jawaban dari masalah ekonomi dunia.

"Dalam konteks ekonomi bisnis wilayah Indonesia itu 70 persen lautan. Potensinya belum tergali, bahkan baru dari satu komoditas saja, seperti benur lobster, menghasilkan triliunan dalam setahun," kata Suadi.

Perspektif kedua mengenai blue economy yang dikembangkan inovator dunia bernama Gunter Paoli, hal itu merujuk pada proses ekonomi baik di darat maupun di laut yang menghasilkan limbah minimal atau nirlimbah.

Praktik-praktik mutakhir menggabungkan kedua perspektif tersebut sehingga laut sebagai mesin penggerak ekonomi baru dikembangkan dengan cara berkelanjutan dan menghindari cara-cara produksi ekonomi darat yang selama ini selalu menghasilkan limbah yang menjadi PR baru bagi ekonomi.

"Indonesia dengan luas wilayah lautan 70 persen dan darat 30 persen semestinya bisa segera mempraktikkan blue economy sesuai tren di dunia saat ini yang menuntut praktik ekonomi baru yang berkelanjutan.

Tekan Impor Daging

Sementara itu, pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan sebagai negara maritim, potensi pengembangan blue economy sangat besar dan dapat menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya sumber protein sekaligus menekan impor daging. "Potensi pengembangan blue economy atau blue food sangat nyata karena potensi tangkapan ikan kita sangat besar. Selain itu, masyarakat sendiri sudah banyak yang menjadi nelayan sehingga banyak benefit dari pengembangan jenis ekonomi itu," katanya.

Dengan blue economy, kebutuhan protein yang sebagian masih diimpor bisa diatasi. Kalau masyarakat sudah gemar makan ikan secara perlahan, akan ada pergeseran, tidak ada alasan lagi untuk impor daging. Di sini, nelayan dan konsumen sama-sama untung karena penghasilan nelayan akan naik, perekonomian rakyat lebih sehat, sedangkan konsumen belanja lebih hemat karena harga ikan lebih murah dari pada daging.

Dampak ekonominya pun pasti lebih baik. Pemerintah tinggal meningkatkan dan memperluas program pemberdayaan nelayan dan memberantas ilegal fishing. "Dengan tren lonjakan penduduk, bagaimanapun sumber daya laut yang melimpah adalah masa depan pangan kita, khususnya untuk memenuhi kebutuhan protein," kata Ramdan.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, sepakat bahwa ekonomi biru sangat potensial dikembangkan selain untuk pemenuhan gizi, sektor perikanan dan maritim, juga memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.

Kesadaran tentang pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan akan memberikan nilai ekonomis yang terus-menerus karena perikanan jadi sumber daya terbarukan. Terlebih, Indonesia terutama di lautan Banda merupakan titik jalur migrasi ikan tahunan dari Samudra Hindia ke Pasifik dan sebaliknya, sehingga potensinya luar biasa melimpah.

"Sama halnya di titik-titik perikanan lain, seperti lepas pantai di laut Jawa dan Flores, perairan Kepulauan Riau hingga Arafuru, dan juga perikanan di area Samudra Hindia dan Pasifik," ungkap Hafidz.

Baca Juga: