JAKARTA - Implementasi ekonomi sirkular di sebuah negara khususnya di Indonesia, membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, salah satunya yang paling penting adalah peran dari masyarakat, kata seorang pakar ekonomi sirkular.

"Kalau kita membahas ekonomi sirkular, harus melibatkan sampai ke waste generator, yakni macam-macam mulai dari rumah tangga, perkantoran, rumah makan, kafe, hingga hotel," kata Co-Founder Octopus Moehammad Ichsan dalam diskusi soal ekonomi berkelanjutan kemarin (7/7).

Untuk itu, Octopus mencoba melakukan pendekatan langsung kepada rumah tangga dalam hal pengelolaan sampah, mengingat produksi karbon di rumah tangga lebih tinggi dibandingkan sektor industri lainnya.

Ichsan memaparkan konsep ekonomi sirkular yang ideal adalah dimulai dari produsen yang memproduksi aneka kebutuhan masyarakat dengan kemasan yang termasuk di dalamnya. Kemudian, produk tersebut dikonsumsi masyarakat, dan sampah kemasan dari produk tersebut dikumpulkan oleh pemulung atau pelestari, untuk kemudian dijual kepada pengepul atau bank sampah.

Dari pengepul, sampah kemudian dibawa ke pusat pengumpulan atau collection center untuk disortir dan dipisahkan menurut bagiannya masing-masing.

"Di collection center nanti ditentukan sampah ini termasuk grade A, B, C atau seterusnya sesuai peruntukan industri daur ulang yang memang sudah memiliki standar," ujar Ichsan.

Setelah diolah oleh industri daur ulang, kemudian kembali ke produsen untuk dapat digunakan lagi sebagai kemasan yang sesuai standar.

Namun, menurut Ichsan, saat ini terdapat 81 persen sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) di Indonesia yang sulit untuk didaur ulang kembali. Hal tersebut terjadi karena industri daur ulang di Indonesia memiliki standar bahan bakunya masing-masing.

"Seperti misalnya motor BPA yang kita gunakan itu tidak semudah itu dilakukan daur ulang. Karena, jika dia terkontaminasi sedikit saja, itu tidak bisa didaur ulang," tukas Ichsan

Perlu Insentif

Belum optimalnya penerapan circular economy (ekonomi berkelanjutan) oleh industri karena implementasi Undang Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah masih belum maksimal. Hal itu khususnya menyangkut pasal 18 yang mengatur bahwa industri harus bertanggung jawab packaging (kemasan) yang dihasilkan.

Yanto Widodo, Board of Director PT. Namasindo Plas mengatakan, hingga saat ini hanya segelintir industri yang menjalankan perintah undang undang tersebut. Ia memahami kendalanya ikarena untuk mengurus packaging yang dihasilkan itu peruahaan terpaksa harus mengeluarkan biaya lagi.

"Makanya sebaiknya pemerintah berikan insentif bagi perusahaan yang menjalankan economy circular ini, kuangi pajaknya, agar semakin banyak perusahaan yang bisa mengelola kemasan yang mereka hasilkan,"ucap Yanto dalam diskusi terkait economy circular di Jakarta, Kamis (8/7).

Baca Juga: