» Pemerintah perlu menginisiasi pentingnya konsumsi pangan lokal sebagai pilar penting bagi kemandirian bangsa.

» Di Indonesia banyak sekali sumber pangan lokal, tetapi tidak dimanfaatkan maksimal, malah impor terigu.

JAKARTA - Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang besar, maju, dan berdaulat, jika pangannya masih bergantung pada impor dari negara lain. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai struktur konsumsi pangan nasional agar ketahuan berapa banyak bahan pangan yang diimpor dan alasan mengapa harus diimpor.

Pakar Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jangkung Handoyo Mulyo, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Selasa (26/10), mengatakan kalau mencermati tren impor gandum akhir-akhir ini, jumlahnya semakin meningkat secara nyata.

Pada 2020, impor gandum Indonesia sudah mencapai 10,3 juta ton dengan nilai kurang lebih 37 triliun rupiah. "Fakta ini menjadi penting bagi kita, karena nilai impor yang demikian tinggi," kata Jangkung.

Pada sisi lain, sesungguhnya Indonesia sangat kaya dengan berbagai bahan pangan lokal yang bisa digunakan menjadi substitusi gandum seperti tepung mocaf dari ketela pohon, porang, dan banyak bahan pangan lokal lainnya yang bisa dimanfaatkan, termasuk tepung pisang dan tepung sorgum.

Menurut Jangkung, pemerintah perlu menginisiasi penyadaran bersama tentang pentingnya konsumsi pangan lokal sebagai salah satu pilar penting bagi kemandirian bangsa.

"Salah satu kunci pokok keberhasilan gerakan diversifikasi pangan lokal bergantung pada kesadaran, kemauan, komitmen, dan keyakinan untuk menjadi bangsa yang mandiri pangan menuju Indonesia Emas 2045," kata Jangkung.

Pakar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Imron Rozuli, yang dihubungi terpisah mengatakan jika kalkulasi data pertanian terintegrasi dengan baik maka sesungguhnya Indonesia dalam keadaan surplus pangan. "Dengan demikian, diversifikasi pangan bisa dilakukan dengan menggalakkan program subtitusi impor," kata Imron.

Produk pangan lokal, katanya, harus diapresiasi dan diperkuat bagi upaya kedaulatan pangan. Problem utama di Indonesia adalah tata kelola di mana rantai pasokan yang dikuasai kelompok tertentu sehingga mereka mengendalikan pasokan.

"Makanya, data riil dan kondisi faktual atas produksi dan distribusi pangan perlu ditata ulang," kata Imron.

Peneliti Ekonomi Indef, Rusli Abdullah, berharap upaya penggunaan pangan lokal di sektor komersial ini dimasifkan agar diversifikasi pangan itu menguntungkan petani lokal.

"Ini harus melibatkan semua kementerian terkait, tidak boleh berjalan sendiri-sendiri karena tanggung jawabnya lintas sektoral," kata Rusli.

Tidak Dimanfaatkan

Dihubungi terpisah, Pengajar Fakultas Kesehatan dan Pertanian Universitas Katolik Santo Paulus Ruteng Nusa Tenggara Timur (NTT), Yohanes Jakri, meminta pemerintah lebih banyak lagi menggunakan pangan lokal. Pangan lokal seperti sukun malah banyak disajikan di hotel-hotel dengan harga yang sangat mahal.

Begitu juga dengan porang dan mocaf yang bisa dicampur sebagai bahan baku untuk membuat roti dengan harga yang mahal dan nilai gizinya lebih tinggi dibanding gandum. Di Amerika Selatan, jagung bisa dimodifikasi menjadi roti jagung (corn bread).

"Di Indonesia banyak sekali sumber pangan lokal, tetapi tidak ada yang dimanfaatkan. Kita malah pakai tepung terigu impor, padahal bisa buat terigu dari mocaf. Bahkan, dengan teknologi, mocaf bisa dibikin bakmi dan di Jepang ada bakmi porang yang harganya mahal," kata Jakri.

Sumber pangan lokal, papar Jakri, sangat banyak dan melimpah, tetapi tidak terkoneksi dengan akses pasar. Pemerintah tidak memfasilitasi dan lebih cenderung mengandalkan produk impor.

Selain itu, mindset atau pola pikir yang keliru seolah-olah singkong adalah makanan di desa, mesti diubah. Sebab, dengan pengolahan akan menghasilkan produk berkualitas tinggi dan bergizi.

"Mindset kita harus diubah dengan melihat singkong dan segala macam pangan lokal lainnya sebagai pangan nasional, bukan makanan desa. Kita terlalu doyan frenchfries, padahal banyak pangan lokal bisa diolah jadi makanan umum modern yang berkelas, bukan terus bergantung pada impor. Negara maju bisa buat frenchfries dan sweet potatoe mahal, kenapa kita tidak, padahal kita punya banyak bahan baku seperti ubi manis atau sukun yang bisa dijadikan makanan medern," kata Jakri.

Kalau pemerintah punya kemauan kuat memanfaatkan pangan lokal, potensinya, kata Jakri, sangat besar karena bisa menghasilkan 10 miliar dollar AS sebagai ekonomi baru dari petani Indonesia.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan seharusnya Badan Pangan mulai mengambil peran strategis mendorong produk-produk pertanian, seperti porang, sukun, dan mocaf agar memiliki kualitas yang baik dan bisa menghiasi sajian makanan di hotel dan restoran, termasuk memenuhi permintaan industri.

"Di sinilah sentra pangan harus mampu menyuplai kebutuhan industri setempat. Jadi, sentra pangan mesti dicetakbirukan, setiap wilayah mempunyai jenis pangan (umbian) apa, harus cukup untuk bangun industri. Kalau sumber pangan jauh dari kebutuhan industrinya maka tidak efisien," kata Badiul.

Cetak biru, jelasnya, akan memetakan wilayah tertentu dengan jenis pangan yang cocok dibudidayakan serta produksinya bisa melebihi kebutuhan industri yang dibangun. "Kalau bahan baku dari sentra pangan cukup untuk memenuhi industri maka industrinya bisa bertumbuh. Kalau bahan baku lebih, malah memungkinkan untuk mengembangkan industri. Industri hanya bisa bertumbuh kalau sumber pangan melebihi dari kapasitas terpasang," kata Badiul.

Dengan demikian, pendapatan petani pun akan meningkat karena mereka memperoleh harga wajar yang menguntungkan dan menyerap semua produksi mereka.

Baca Juga: