» Output Tiongkok merupakan 86 persen dari total ekonomi kawasan Asia Timur.

» Risiko lain terhadap prospek kawasan adalah kenaikan suku bunga agresif.

MANILA - Bank Dunia dalam sebuah laporan menyatakan pertumbuhan ekonomi di Asia Timur dan Pasifik akan melemah tajam pada 2022 karena perlambatan ekonomi Tiongkok. Lembaga itu memperkirakan pertumbuhan 2022 di kawasan Asia Timur dan Pasifik, yang mencakup Tiongkok melambat menjadi 3,2 persen, turun dari perkiraan sebelumnya 5,0 persen pada April, dan dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya 7,2 persen.

Perkiraan yang lebih lemah terutama disebabkan oleh perlambatan tajam di Tiongkok karena aturan ketat nol-Covid yang telah mengganggu produksi industri, penjualan domestik, dan ekspor.

Output Tiongkok merupakan 86 persen dari total ekonomi kawasan yang terdiri dari 23 negara hanya diproyeksikan tumbuh 2,8 persen tahun ini, turun signifikan dari perkiraan Bank Dunia sebelumnya sebesar 5,0 persen. Pada 2021, ekonomi Tiongkok tumbuh 8,1 persen, pertumbuhan terbaiknya dalam satu dekade.

Pada 2023, ekonomi terbesar kedua dunia itu diperkirakan tumbuh sebesar 4,5 persen.

"Ketika mereka bersiap untuk memperlambat pertumbuhan global, negara-negara harus mengatasi distorsi kebijakan domestik yang merupakan hambatan bagi pembangunan jangka panjang," kata Wakil Presiden Bank Dunia Asia Timur dan Pasifik, Manuela Ferro, dalam sebuah pernyataan.

Risiko lain terhadap prospek kawasan adalah kenaikan suku bunga agresif yang dilakukan bank sentral di seluruh dunia untuk memerangi inflasi yang melonjak. Hal itu menyebabkan arus keluar modal dan depresiasi mata uang.

Badan yang berkantor di Washington itu memperingatkan pembuat kebijakan tentang upaya memaksakan kontrol harga melalui subsidi, memperingatkan kalau langkah-langkah tersebut hanya akan menguntungkan orang kaya dan menarik pengeluaran pemerintah dari infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

"Pengendalian dan subsidi sinyal memperkeruh harga dan merusak produktivitas," kata Ekonom Bank Dunia Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo, dalam sebuah pernyataan.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta tanggapannya, mengatakan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pasti berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, terutama hubungan perdagangan, utang, dan investasi atau yang dikenal dengan contagious effects," papar Esther.

Ekonomi Indonesia akan tertular Tiongkok karena intensitas interaksi dengan negara tersebut sebagai salah satu mitra perdagangan utama. "Seberapa besar pengaruhnya, itu tergantung dari strategi mitigasinya dan fundamental ekonomi Indonesia," kata Esther.

Sama dengan proyeksi Bank Dunia, Indonesia pasti terdampak atas krisis global yang sudah mulai terasa sejak tahun ini hingga tahun depan.

Oleh karena, perlu mitigasi risiko terjadinya krisis, terutama yang harus dipastikan adalah food security, ketahanan pangan, dan kemandirian pangan.

Selain itu, daya beli konsumen, papar Esther, harus dijaga, termasuk harga pangan agar tidak naik. Bila daya beli konsumen menurun, pertumbuhan ekonomi juga terganggu, apalagi pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong oleh konsumsi rumah tangga.

Misalnya, saat harga beras naik karena dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak, pemerintah juga menaikkan harga pembelian gabah yang mendorong kenaikan harga beras eceran.

"Jika harga beras naik maka dipastikan akan terjadi kenaikan inflasi karena seperti halnya bahan bakar minyak, beras pun termasuk admintered price. Harga beras naik, akan memicu kenaikan harga barang lainnya," paparnya.

Selain itu, beras termasuk barang inelastic, meski harga beras naik, masyarakat tetap membelinya. Oleh karena itu, untuk meredam harganya, suplai beras di pasar harus cukup agar harganya tidak terus naik karena faktor suplai yang kurang.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, yang diminta pendapatnya, mengatakan penurunan ekonomi Tiongkok akan dirasakan di kawasan, namun Indonesia harus dapat memanfaatkan keuntungan dari proyeksi perlambatan tersebut.

"Sebetulnya yang kita harapkan dari perlambatan Tiongkok ini adalah bagaimana membuat Indonesia lebih kompetitif, efesien, dan bernilai tambah. Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan momentum ini, setidaknya dengan mengisi beberapa sektor Tiongkok yang mengalami penurunan," kata Wibisono.

Baca Juga: