JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menilai APBN memerlukan diskresi menghadapi situasi dan kondisi penuh ketidakpastian di masa depan.

Menurut dia, diskresi atau kemudahan untuk memindah-mindahkan anggaran diperlukan guna memberikan ruang mengubah kebutuhan anggaran sesuai kondisi yang ada.

"Menurut saya, APBN itu harus ada diskresi, jadi kemudahan untuk memindah-mindahkan anggaran karena memang situasi dan kondisi ekonomi ke depan itu ketidakpastiannya tinggi. Kemudian, kebutuhan jangka pendeknya itu bisa berubah-ubah," katanya dalam Rilis Survei Nasional LSI: "Kondisi Ekonomi dan Peta Politik Menjelang 2024" yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu (4/9).

Aviliani menilai sistem yang saat ini digunakan di mana anggaran diporsikan dan pemindahannya membutuhkan persetujuan hingga sekitar tiga bulan akan tidak efektif untuk bisa mengatasi masalah yang mungkin dihadapi di masa depan.

"Kalau kita lakukan seperti kemarin, ini harus diporsikan untuk ini, kalau mau dipindah, butuh persetujuan, dan itu butuh tiga bulan. Jadi ketika tiga bulan di-ACC, ternyata tidak butuh lagi," katanya.

Aviliani juga menyebut diskresi dibutuhkan untuk mempercepat proses-proses atau kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat kelas bawah, misalnya saja seperti bantuan sosial.

Aviliani menyebut jika tahun ini bantuan sosial pengalihan subsidi BBM diarahkan untuk membantu keberlangsungan hidup masyarakat, tahun depan bansos harus diarahkan untuk penyiapan tenaga kerja.

Harus Dikawal

Dibagian lain, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, sekaligus Presiden Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiis), Andy Fefta Wijaya, mengatakan diskresi keuangan memang dibutuhkan pada saat terjadi kebuntuan.

Namun, pemberian diskresi harus dikawal oleh pengawasan ketat untuk menghindari dimanfaatkan bagi kepentingan politik praktis.

"Agar program dan tujuan tetap berjalan lancar dan target tercapat sesuai visi misi yang diemban, diskresi memang perlu,"kata Andy.

Namun, diskresi APBN yang berlebihan dan tidak terkendali juga berisiko terjadinya penyalahgunaan termasuk tindak korupsi.

"Ibarat mobil, diskresi ini gas yang dipegang oleh pihak eksekutif, namun harus diimbangi dengam rem yang dipegang oleh pihak legislatif," tambahnya.

Berkebalikan dengan Aviliani, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, justru menolak adanya diskresi pengelolaan APBN sebagaimana diatur oleh UU No 2 Tahun 2020 tentang Darurat Ekonomi akibat Covid-19 dan Krisis Lainnya.

"Jelas UU itu mengatakan hanya berlaku sampai akhir tahun ini. Cukup. Ini gawat sekali kalau diskresi dilanjutkan. Kenapa? Karena bahkan diskresi tiga tahun dari 2020, 2021, 2022, itu belum dipertanggungjawabkan oleh Menkeu," tandas Daeng.

Diskresi selama tiga tahun kemarin digunakan Menkeu dengan alasan agar bisa cepat mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi. Namun, sampai hari ini belum ada pertanggungjawabannya.

"Saya sudah berkirim surat resmi ke Kemenkeu dua kali sampai hari ini tidak dibalas. Bagi saya, diskresi ini justru harus dihentikan," tandas Salamuddin Daeng.

Baca Juga: