>> Mendag semestinya memberi insentif ke ekspor dan disinsentif untuk impor, jangan sebaliknya.

>> RI dikhawatirkan terjebak dalam food trap atau jebakan pangan sebagai bentuk penjajahan gaya baru.

JAKARTA - Pembentukan Badan Pangan dinilai sangat mendesak karena berbagai program yang terkait dengan upaya pemerintah menciptakan ketahanan pangan akan sulit tercapai tanpa ada lembaga kuat yang mengelola.

Penciptaan lumbung pangan (food estate) misalnya di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Sumatera Utara (Sumut) tidak akan berjalan dengan baik tanpa pengelolaan yang baik, mulai dari hulu (produksi) hingga ke hilir.

Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Ramdan Hidayat, mengatakan pemerintah harus segera mewujudkan otoritas untuk membangun ketahananan pangan, yang benar-benar punya kewenangan dalam mencapai tujuannya, bukan sekadar fungsi koordinasi.

"Urusan pangan adalah masalah serius karena menyangkut nasib perut 270 juta rakyat Indonesia, maka penanganannya juga harus serius. Di Kepolisian saja ada yang mengurusi soal penimbunan pangan dikepalai jenderal bintang dua, maka otoritas ini harus lebih tinggi, semacam Kementerian Koordiantor Pangan," kata Ramdan.

Tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) pun sudah jelas yaitu untuk mewujudkan dan menjamin lima pilar Ketahanan Pangan yang telah ditetapkan oleh WHO, yakni Ketersediaan, Pemerataan, Utility, Keterjangkauan, dan Keamanan.

"Jadi, tujuannya mempercepat upaya meningkatkan ketahanan pangan yang berdaulat, termasuk kewenangan menyerap produk petani dengan harga yang pantas, jadi bukan berpikir keuntungan saja," kata Ramdan.

Apalagi, banyak negara saat pandemi mengurangi ekspor dan mengutamakan memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Momen ini harusnya dimanfaatkan untuk memberi insentif kepada petani yang mau berproduksi. Selain subsidi Saprodi ditingkatkan, asuransi petani dan memastikan panen dibeli dengan harga yang patut yakni di atas harga produksi.

Impor Dihapus

Peneliti Ekonomi dari Indef, Nailul Huda, mengatakan agar impor pangan bisa dihentikan maka yang paling utama dibangun pemerintah adalah produksi pangan dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan, bahkan kalau bisa surplus dan bisa diekspor. Masalahnya, selama ini, semua departemen yang berkaitan dengan pangan mengedepankan ego sektoral, jalan sendiri-sendiri.

"Bagaimana bisa membangun kalau jalan sendiri-sendiri, apalagi ada 7-8 kementerian yang berkaitan langsung dengan pangan. Seharusnya ada koordinator setingkat Menko yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, seharusnya dibentuk Badan Pangan," kata Nailul.

Badan Pangan itu yang akan memutuskan tanaman berkualitas yang harus diproduksi dalam tiga tahun ke depan, sehingga impor bisa dihapus. Misalnya kedelai atau gula nasional dari tebu ditambah produksinya dua juta ton dalam tiga tahun terakhir. Begitu juga dengan pemanfaatan umbi-umbian menjadi Mocaf (modified cassava flour) sebagai alternatif pengganti tepung terigu. Kemudian, ikan laut dan air tawar untuk meningkatkan gizi.

"Target ini harus ada yang melaksanakan, dan semua departemen harus dikonsolidasikan. Jangan Menteri Perdagangan malah sibuk mengurusi impor," kata Nailul.

Dikatakan, sulit untuk membangun kemandirian pangan jika Mendag begitu menjabat langsung berpikir impor. Semestinya Mendag amanatnya ekspor, bukan impor. Dia harus duduk bersama rakyat memikirkan bagaimana agar rakyat bisa makan tanpa harus impor. Dengan kewenangannya bisa mengeluarkan insentif untuk ekspor dan disinsentif bagi impor. Sayangnya, di Indonesia justru kebalikan. Mendag semestinya membabat habis impor pangan.

Maka jangan heran kalau impor sangat kental nuansanya dikendalikan oleh para pencari rente. "Keuntungan yang bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga impor menjadi magnet yang diburu para pencari rente," kata Nailul.

Sebelumnya, Anggota Komisi IV-DPR, drh Slamet, mengatakan impor komoditas pangan pada kuartal I-2021 meningkat tajam dibanding periode yang sama tahun 2020. Impor garam naik 19,60 persen menjadi 379.910 ton, gula melonjak 42,96 persen menjadi 1,93 juta ton, sedangkan kedelai naik 22,43 persen menjadi 699.730 ton dan bawang putih meroket 165,23 persen menjadi 53.536,9 ton.

"Ini sangat berbahaya, saya khawatir RI akan terjebak dalam food trap atau jebakan pangan sebagai bentuk penjajahan gaya baru," kata Slamet.

Baca Juga: