Untuk memenuhi kebutuhan aluminium dalam negeri, Indonesia harus impor meskipun kaya akan bauksit.

JAKARTA - DPR RI meminta pemerintah turun tangan mengurai masalah stagnasi produksi aluminium nasional. Sebab, hingga saat ini kebutuhan dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh produsen alumunium lokal termasuk perusahaan plat merah PT Inalum sehingga harus impor.

Anggota Komisi VII DPR RI Nasril bahar menyayangkan belum adanya kata sepakat terkait harga. Kata dia ini bukti kurangnya sinergitas antara PT Inalum dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Hal itu menyebabkan produksi aluminium Inalum terhambat di tengah kebutuhan aluminium dalam negeri yang cukup besar.

Inalum merupakan BUMN yang memproduksi aluminium. Sejak beroperasi pada 1982, hitungan produksinya tidak lebih dari 250 ribu ton per tahun. Sementara demand atau kebutuhan dalam negeri sebesar 1,5 juta ton per tahun. "Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan itu kita harus impor. Padahal kita kaya dengan bauksit. Hal ini karena inalum tidak memilik energi listrik yang cukup untuk proses produksinya," ujar Nasril dikutip dari laman resmi DPR RI, dalam kunjungan kerja reses komisi VII DPR RI ke Sumatera Utara (Sumut), Jumat (14/7).

Dijelaskannya, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang milik Inalum seperti PLTA Sigura-gura dan PLTA Tangga, PLTA Asahan I, tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik Inalum untuk mencapai target produksinya. Sehingga Inalum butuh tambahan energi listrik yang tentu saja bisa diperoleh dari PLN.

Sayangnya, kata dia, hingga kini belum ada kata sepakat terkait harga untuk pemenuhan energi listrik dari PLN ke Inalum. Dengan kata lain, ada selisih harga yang sudah lama jadi masalah yang tak kunjung mendapat kesepakatan antara kedua BUMN tersebut.

"Miris kita melihat, sangat kurangnya sinergitas antara BUMN kita, pemilik energi listrik, PLN yang tidak mampu melakukan kerjasama dengan baik dengan industri aluminium kita. Di tengah tuntutan permintaan pasar yang tinggi atas aluminium. Sehingga membuat Indonesia harus impor aluminium," tambahnya.

Karena itu, Nasril menilai pemerintah harus turun tangan melakukan konsolidasi ke dua belah pihak. Mengingat kedua perusahaan tersebut adalah sama-sama BUMN. Bahkan, Komisi VII DPR RI juga mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memanggil kedua belah pihak, agar segera diselesaikan persoalan harga. Sehingga ditemukan titik tengah yang baik.

Cari Solusi

Direktur Utama PT Inalum, Danny Praditya mengakui selama ini masalah harga yang belum ada sepakat memang menjadi kendala.

Namun saat ini pihaknya bersama PLN sudah melakukan pertemuan, mencari solusi beberapa opsi lain. Di antaranya dengan kemungkinan melakukan kerja sama operasional ataupun joint venture, di mana aset kedua perusahaan akan dijadikan satu dan PLN akan bisa mendapatkan upside ataupun bagian dari kepemilikan hasil produksi Inalum.

"Kami menyadari teman-teman PLN punya keekonomian pembangkitannya dan tentu kebijakannya akan mempengaruhi sektor lainnya oleh karena itu kami mencoba mencari beberapa opsi lain, termasuk Joint Venture atau kerjasama operasional. Insyallah dalam waktu dekat akan ketemu solusi bersama," pungkas Danny.

Baca Juga: