OLEH HEMAT DWI NURYANTO

Pemilu 2019 sampai pada tahap kampanye rapat umum dengan mengumpulkan massa dalam jumlah besar dari 24 Maret hingga 13 April 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) membagi dua zona pelaksanaan kampanye rapat umum.

Zona A terdiri dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Banten, dan Jakarta. Kemudian, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Lalu Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Sementara itu, zona B terdiri dari Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

Kemudian, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat. Pada prinsipnya, kampanye pemilu adalah marketing dalam dunia politik.

Donald B Calne dalam bukunya Within Reason: Rationality and Human Behavior mengatakan, marketing bisnis dan politik bisa dikatakan sebangun. Keduanya, sama-sama secara permanen melibatkan akal dan perasaan.

Perbedaan mendasar antara perasaan dan akal adalah perasaan akan menghasilkan tindakan, sedangkan akal akan menghasilkan sebuah kesimpulan. Keputusan konsumen ataupun konstituen untuk memilih didominasi perasaan.

Pemikiran Calne bisa menjadi referensi para marketers dunia dan menstimulasi berbagai kajian implementasi emotional marketing. Dalam dunia bisnis contoh emotional marketing yang berhasil secara gemilang dicapai Howard Schultz dari Starbucksm dan Steve Jobs dari Apple. Konsep third place for drinking coffee Starbucks dan creative imagination Apple penuh konstrain emotional marketing.

Esensinya patut dicontoh parpol dalam kampanye Pemilu 2019. Marketing politik yang paling praktis melalui iklan. Sayangnya, iklan banyak terkendala ruang, waktu, dan biaya. Partai politik diberi waktu 21 hari beriklan di berbagai media.

Ada beberapa aturan terkait iklan kampanye tersebut dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 Pasal 37 tentang Kampanye. Materi iklan berisi visi, misi, dan program peserta pemilu. Iklan bisa tulisan, gambar, atau suara. KPU membatasi jumlah dan durasi. Iklan dibatasi maksimum secara kumulatif dalam lima kategori. Pertama, delapan spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi per hari. Kedua, 4 spot berdurasi paling lama 60 detik untuk setiap stasiun radio per hari. Ketiga, 810 milimeter kolom atau satu halaman untuk setiap media cetak per hari.

Keempat, satu banner untuk setiap media dalam jaringan per hari. Kelima, 1 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap media sosial per hari. Dari pengalaman pemilu Indonesia pascagerakan reformasi, keberhasilan marketing parpol khususnya para caleg dalam merebut suara di suatu dapil sangat ditentukan keberhasilan merangkul komunitas-komunitas hiperlokal. Hal itu tampaknya masih akan terjadi pada Pemilu 2019.

Untuk itu, diperlukan media hiperlokal yang kondisinya bisa transformatif dan inovatif sesuai dengan kemajuan TIK serta terpadu dengan sosial media. Media hiperlokal cetak dan elektronik memiliki posisi strategis dalam marketing parpol.

Apalagi jika mampu menyediakan platform yang baik untuk persuasi dan kampanye para caleg serta wacana publik yang inklusif. Beberapa praktisi parpol saat ini cenderung menekankan aksi filantropi sebagai titik berat marketing politiknya.

Namun, aksi filantropis tersebut kurang efektif lantaran tak berhasil mendefinisikan secara jelas identitas keunikan dan memperkuat dengan integritas otentik untuk membangun citra yang kuat.

Kondisinya bisa runyam karena tipisnya batas antara aksi filantropi dan money politic. Banyak kasus mempertontonkan aksi filantropi dilakukan praktisi parpol, tapi dampak sosio kulturalnya kurang efektif karena tidak value driven.

Hal itu hanya berpengaruh dalam jangka pendek. Nilai-nilai Pemilu 2019 makin berkualiats jika diakselerasi dengan marketing parpol yang menerapkan konsep ke dalam konteks aspirasi, nilai-nilai, dan human spirit.

Konsep tadi melengkapi emotional marketing dengan human spirit marketing. Aspek human spirit marketing merupakan soft power untuk menjelaskan suatu pendekatan yang bersifat persuasif, komprehensif, menyuarakan hati nurani, serta menyebarkan empati.

Kebalikannya adalah marketing politik bercorak hard power yang mengedepankan cara koersi dan mobilisasi massa. Marketing politik yang bersifat soft power lewat media hiperlokal dan sosial media sekarang justru lebih efektif. Dia bisa menjalar dalam domain yang lebih luas. Maka, para caleg memahami hakikat marketing politik yang dalam kulminasinya akan menjadi harmonisasi dari gatra: identity, integrity dan image.

Pada saatnya nanti, media hiperlokal bisa menjadi rumah konstituen bagi anggota legislatif yang terpilih. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat membantu para caleg mengelola aspirasi. Caranya, membuat rumah konstituen secara virtual. Ini juga sarana komunikasi yang sangat efektif. Hal itu juga sangat membantu dalam kegiatan lembaga legislatif seperti membuat UU, penyusunan anggaran belanja, inisiasi peraturan daerah hingga pengaduan umum.

Tentunya, ini juga bisa menjadi sarana laporan pertanggungjawaban anggota legislatif kepada konstituen. Sebagian besar parpol yang mengikuti Pemilu 2019 citranya terpuruk di mata rakyat. Kasus korupsi yang dilakukan pengurus parpol merupakan penyebab utama terpuruknya elektabilitas. Dibutuhkan strategi turnaround untuk membalikkan kondisi parpol agar bisa lepas dari krisis kepercayaan. Mereka harus mampu berprestasi lagi di tengah rakyat.

Perlu juga strategic turnaround sebagai usaha yang dilakukan dengan mengubah yang bersifat strategis dalam tubuh parpol. Misalnya, menghilangkan faktor-faktor yang bisa mengerdilkan esensi demokrasi, di antaranya menghapuskan bentuk dinasti politik dalam kepengurusan dan penunjukan caleg. Sedangkan operational turnaround dengan memfokuskan tindakan pada tingkat fungsional seperti marketing politik, pembentukan jejaring sosial, dan modernisasi tim sukses.

Penulis Lulusan UPS Toulouse Prancis

Baca Juga: