oleh dr haryo kuncoro, se, msi

Penerimaan negara beberapa bulan terakhir tidak menyurutkan hasrat pemerintah terus menerbitkan insentif sektor perpajakan. Tarif pajak penghasilan (PPh) atas hunian mewah dan pajak penjualan barang mewah otomotif juga dipangkas. Demikian pula, PPh bunga atas kontrak investasi kolektif baik dana investasi infrastruktur, real estat, maupun efek beragun aset yang tercatat pada Otoritas Jasa Keuangan dikenai PPh 5 persen hingga tahun 2020, dan 10 persen untuk tahun 2021 dan seterusnya.

Insentif fiskal lain yang sedang disimulasi adalah PPh Badan yang akan dipotong dari 25 menjadi 20 persen. Belum lagi, restitusi pajak, pembebasan pajak (tax allowance), pengurangan pajak jumbo (super deduction tax), subsidi pajak, belanja pajak, dan relaksasi penerimaan bukan pajak juga akan dirilis tahun ini juga.

Berbagai langkah tersebut untuk mendorong kegiatan investasi dan meningkatkan kinerja ekspor. Dua sektor ini diandalkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi mendatang. Namun, kebijakan insentif perpajakan dalam jangka pendek berpotensi menggerus penerimaan negara.

Kehilangan penerimaan yang seharusnya bisa diraup pemerintah memang sudah dicatat sebagai belanja perpajakan. Belanja perpajakan adalah penerimaan pajak yang hilang (earning forgone) atau berkurang akibat ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum (benchmark tax system).

Atas dasar ini, belanja perpajakan tampaknya hanya merujuk pada kebijakan yang bersifat permanen (jangka panjang), alih-alih insentif temporer. Pertanyaannya, apakah insentif termasuk dalam kategori kebijakan, meski dalam jangka pendek dimungkinkan untuk ditinjau ulang.

Sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi kebijakan, kehilangan penerimaan karena insentif pajak semestinya juga harus dihitung. Lagi pula, banyak UU perpajakan dan peraturan pelaksanaannya yang mencantumkan beberapa pengecualian sehingga pembayaran pajak tidak diterima.

Jika disepakati bahwa insentif merupakan bentuk kebijakan, persoalan tidak berhenti di sini. Problema mendasarnya adalah suboptimalitas pajak. Artinya, makna laporan belanja insentif perpajakan akan menjadi jauh lebih konkret bila upaya pajak (tax effort) telah mencapai level optimal.

Sebagai rujukan besaran belanja perpajakan tahun 2018 senilai 221,1 triliun atau 1,5 persen dari produk domestik bruto. Jika diperbandingkan, belanja perpajakan ternyata lebih besar dari kekurangan (shortfall) penerimaan pajak 2018 sebesar 108,1 triliun.

Untuk tahun ini, keadaan belum banyak berubah. Tantangan terberatnya normalisasi aktivitas impor dan ekspansi industri, terutama sektor manufaktur yang menyumbang pajak terbesar, masih terbatas. Dengan kenyataan ini, potensi kekurangan penerimaan pajak hingga akhir tahun diperkirakan 140 triliun rupiah.

Justifikasi

Kekurangan penerimaan pajak dalam konteks belanja perpajakan seolah menjadi justifikasi potensi pajak yang tidak tergali. Ini bisa membuat salah persepsi atas indikator turunannya. Sementara itu, perhitungan rasio pajak menghendaki data penerimaan pajak yang faktual, belanja perpajakan berada dalam taraf normatif.

Kondisi ini mirip ekonomi bawah tanah. Output kegiatan ekonomi bawah tanah tidak tercatat dalam statistik resmi. Hasil identifikasi terhadap ukuran ekonomi bawah tanah senantiasa diyakini hanya sebagai gunung es di lautan yang kecil di permukaan, tetapi di dalamnya jauh lebih besar. Dengan bekal skala optimalitas, pemangku kepentingan akan bisa memperkirakan penerimaan pajak yang hilang dan yang memang belum ter-cover. Meskipun pemerintah sama-sama kehilangan penerimaan, implikasi turunan kebijakan dari keduanya jelas sangat berbeda.

Bagi investor domestik dan kalangan bisnis, publikasi data belanja insentif perpajakan menjadi rujukan dalam membuat keputusan terkait risiko fiskal. Bagi investor luar negeri, belanja insentif perpajakan merupakan informasi yang sangat berharga dalam menghitung risiko negara (country risk).

Aspek simetrisitas juga perlu dicermati. Kehilangan penerimaan akibat insentif perpajakan niscaya akan terkompensasi oleh potensi basis pajak baru dalam jangka menengah. Dengan logika sama, kelebihan penerimaan perpajakan akibat implementasi insentif perpajakan di luar ketentuan umum juga harus diukur.

Efektivitas insentif fiskal akhirnya sangat ditentukan sensitivitas pelaku ekonomi yang terpapar kebijakan. Jika pelaku ekonomi masih menganggap insentif condong sebagai bantuan tunai yang diterima secara langsung, mereka lebih menghendaki kenaikan belanja pemerintah daripada melalui belanja perpajakan.

Sebaliknya, jika respons pelaku ekonomi terhadap belanja perpajakan sudah tinggi, belanja perpajakan niscaya menjadi instrumen kebijakan yang efektif. Pemerintah bisa dengan mudah mendayagunakan belanja perpajakan, alih-alih pemungutan pajak, dalam memengaruhi perekonomian makro.

Pengakuan atas pembayaran pajak yang tidak jadi diterima karena insentif semacam ini, tentu sangat konstruktif dalam membangun kualitas sistem anggaran yang lebih baik, transparan, ideal, dan berkeadilan. Sebab insentif pajak yang tidak menjadi pembayaran riil tersebut, meskipun tidak masuk ke kas negara, hakikatnya tetap dicatat sebagai pajak.

Maka, pendekatan belanja insentif perpajakan akan dapat meminimalkan, bahkan mengeleminasi penghitungan pajak yang tidak menunjukkan kuantitas semestinya. Dalam lingkup yang lebih luas, kalkulasi belanja insentif perpajakan dapat mengenali berbagai potensi yang bisa merugikan negara secara anggaran.

Akhirnya, harus diakui pula bahwa berbagai macam insentif sejatinya merupakan intervensi terhadap mekanisme pasar. Eksistensi insentif fiskal akan terjustifikasi jika mampu mengoreksi inefisiensi pasar. Efek bumerang pun terjadi. Ketidakmampuan mengemban misi koreksi membuat insentif berubah menjadi kegagalan pemerintah dan kegagalan kebijakan. Perlu diketahui, kegagalan pemerintah berdampak temporer, kegagalan kebijakan memiliki efek permanen yang sulit ditanggulangi. Penulis Dosen Fakultas Ekonomi UNJ

Baca Juga: