Problem struktural semestinya diselesaikan secara struktural melalui demokratisasi perekonomian, bukan dengan bansos.

JAKARTA - Tantangan utama yang dihadapi Indonesia menuju usia emas 100 tahun pada 2045 adalah ancaman krisis pangan dan energi, Dutch Disease atau Penyakit Belanda yang ditandai deindustrialisasi dini, dan ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan masyarakat miskin.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan Penyakit Belanda dan risiko deindustrialisasi dini berpotensi merugikan, mengingat dampaknya yang semakin memperumit upaya mengatasi kesenjangan pendapatan.

Dutch Disease, yang terjadi akibat melonjaknya ekspor komoditas tertentu, berakibat pada menurunnya sektor manufaktur dan penurunan daya saing industri nasional. Dan tentu saja, hal tersebut menjadi hambatan serius dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

"Sementara itu, deindustrialisasi dini dapat memperburuk masalah karena banyak pekerja kehilangan pekerjaan.

"Makanya terjadi penurunan kontribusi sektor manufaktur pada PDB," tandasnya.

Untuk memastikan Indonesia mencapai tujuannya sebagai negara berusia 100 tahun dengan ekonomi yang kuat dan berkeadilan, Indonesia perlu merespons Dutch Disease dengan cara diversifikasi industri yang intinya meningkatkan daya saing industri.

Dalam konteks itu, pemberdayaan sektor manufaktur dan teknologi tinggi menjadi penting. Selain itu, penanggulangan ketidakseimbangan pendapatan perlu menjadi fokus utama. Kebijakan redistribusi pendapatan, pendidikan, dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja merupakan langkah krusial.

"Dengan mengatasi Dutch Disease, deindustrialisasi, dan ketidakseimbangan pendapatan, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang tangguh dan inklusif, memberikan kontribusi positif pada kesejahteraan masyarakat, dan mencapai usia emasnya dengan keberlanjutan yang kokoh," papar Aditya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti membenarkan terjadinya Dutch Disease atau deindustrialisasi. Untuk mengatasi deindustrialisasi dini, maka perlu meningkatkan investasi ke Indonesia dan membangun pabrik yang memproduksi produk yang berkualitas dan harga murah sehingga bisa bersaing di pasar global dan permintaan terhadap produk Indonesia meningkat.

Hal itu menurutnya, akan mendorong bertambahnya investasi untuk mendorong pabrik dan menciptakan lapangan pekerjaan. "Maka pendapatan negara akan meningkat karena ekspor produk Indonesia naik," katanya.

Problem Struktural

Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengatakan, ketimpangan masih menjadi problem struktural yang berkaitan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial lainnya seperti halnya kemiskinan dan pengangguran.

Ketimpangan tersebut secara personal mewujud dalam ketimpangan pendapatan dan pemilikan aset/lahan, sedangkan secara sistemik berupa ketimpangan dalam produksi, distribusi (tata niaga), dan pasar. "Implikasinya adalah ketimpangan dalam pemilikan uang di rekening tersebut," jelas Awan

Awan mengatakan bahwa masalah ketimpangan dan kemiskinan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan bansos (bantuan sosial).

"Problem struktural terangnya semestinya diselesaikan secara struktural juga melalui demokratisasi perekonomian, bukan dengan bansos,"tukasnya.

Adapun konkret demokratisasi ekonomi itu ialah redistribusi aset/lahan produksi untuk rakyat sesuai amanat reformasi agraria, demokratisasi BUMN, revitalisasi koperasi sejati serta redistribusi pendapatan melalui upah layak dan adil untuk pekerja dan saham untuk pekerja.

Secara terpisah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta YB. Suhartoko mengatakan upaya meningkatkan pendapatan masyarakat kelas bawah bisa dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan tidak kena pajak agar secara agregat meningkatkan pendapatan masyarakat. "Upaya lainnya adalah pengendalian inflasi,"terang Suhartoko.

Baca Juga: