NEW YORK - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan yang diterbitkan pada Senin (11/7), menyebutkan target yang ditetapkan dunia untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem, meningkatkan akses ke air minum, dan menuju pembangunan berkelanjutan untuk semua umat manusia sedang dalam bahaya.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam pembukaan laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB untuk 2030, menyatakan jika tidak bertindak sekarang maka Agenda 2030 bisa menjadi batu nisan bagi dunia.

Seperti dikutip dari The Straits Times, pada 2015, negara-negara anggota PBB mengadopsi 17 tujuan yang dimaksudkan untuk membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi seluruh dunia pada akhir dekade ini.

"Tapi di pertengahan tahun 2030, janji itu dalam bahaya, dengan lebih dari separuh dunia kemungkinan akan tertinggal," sebut laporan tersebut. Tujuan pembangunan berkelanjutan pun telah menghilang dalam pandangan.

Para ahli menilai 140 area target yang ditetapkan di bawah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mulai dari akses ke layanan kesehatan dan perang melawan perubahan iklim hingga memerangi ketidaksetaraan dan meratakan akses ke energi. Pada lebih dari 30 persen target, tidak ada kemajuan yang dilaporkan atau bahkan regresi telah dicatat sejak 2015, dan penyimpangan sedang atau berat dari lintasan yang diinginkan telah terlihat di sekitar setengahnya.

Pandemi Covid-19 mengakhiri tren penurunan kemiskinan ekstrem, yang didefinisikan sebagai hidup dengan penghasilan kurang dari 2,15 dollar AS sehari.

Namun dengan kecepatan saat ini, 575 juta orang masih akan hidup dalam kondisi seperti itu pada tahun 2030, sebagian besar di Afrika sub-Sahara. Jumlah itu turun 30 persen sejak 2015, tetapi jauh dari pemberantasan yang diharapkan.

"Yang mengejutkan, dunia kembali pada tingkat kelaparan yang tidak pernah terlihat sejak 2005," katanya.

Satu dari tiga orang (2,3 miliar) menghadapi kerawanan pangan sedang atau parah pada tahun 2021, dan malnutrisi anak masih menjadi kekhawatiran global. "Sekitar 1,1 miliar orang saat ini tinggal di daerah kumuh atau kondisi seperti kumuh di kota-kota, dengan dua miliar lebih diperkirakan dalam 30 tahun ke depan," katanya.

Belum Menyentuh Masalah

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Adhi Cahya Fahadayna, mengatakan potensi kegagalan dunia mencapai target pengentasan kemiskinan karena program-program yang ada belum menyentuh masalah mendasar, ditambah konflik terbuka antarnegara, dan jurang ketimpangan antara negara maju dan miskin/ berkembang yang semakin lebar.

Program pengentasan kemiskinan, seperti pendidikan, pemerataan kesejahteraan, pengangguran, dan lain-lain, masih belum memecahkan masalah-masalah fundamental terhadap pemecahan faktor utama penyebab kemiskinan.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Hempri Suyatna, mengatakan semua negara anggota PBB harus memastikan bahwa pengurangan kemiskinan ekstrem bisa dipercepat dengan waktu yang tersisa. Maka dari itu, memerlukan komitmen penuh bahwa tujuan pembangunan diperuntukkan bagi mereka yang paling bawah dan bukan melayani sekelompok golongan teratas.

"Hentikan retorika. Kalau di Indonesia, anggaran negara harus berorientasi ke bawah. Jaring pengaman sosial, termasuk memastikan harga pangan pokok bisa diakses kalangan terbawah," kata Hempri.

Pengamat ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari penyediaan lapangan kerja. "Isu pembangunan berkelanjutan seharusnya bukan menjadi slogan dan berkenaan dengan penyediaan air bersih harus sejalan dengan penegakan hukum," kata Suhartoko.

Baca Juga: