PARIS - Presiden Conference of the Parties 28 (COP-28) tahun 2023, Sultan Al Jaber, pada Selasa (20/2), mengatakan dunia membutuhkan triliunan dollar AS untuk mendorong transisi hijau dan mengatasi pemanasan global, seraya memperingatkan momentum politik dapat hilang begitu saja tanpa adanya tindakan yang jelas.

Dikutip dari The Straits Times, Al Jaber memuji kemajuan yang dicapai dalam perundingan PBB pada tahun 2023 di Dubai, di mana negara-negara sepakat untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global pada dekade ini dan beralih dari bahan bakar fosil yang polutif.

Namun kesepakatan itu tidak memiliki rincian penting, termasuk pendanaan, sehingga membebani pertemuan COP-29 pada 2024 di Azerbaijan.

Dengan dampak yang semakin cepat seiring dengan hancurnya rekor suhu panas global, para ahli mengatakan pendanaan yang disepakati pada tahun 2024 juga akan memainkan peran penting dalam mendorong pemerintah untuk memperkuat target dekarbonisasi mereka.

Jaber, yang juga menjabat sebagai pimpinan perusahaan minyak nasional Uni Emirat Arab, Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), mengatakan pendanaan adalah pendorong utama perubahan positif dengan kecepatan dan skala yang dibutuhkan.

"Tetapi bukan pendanaan dalam skala normal, kita membutuhkan pendanaan di setiap tingkat," katanya, pada sebuah acara di Paris yang diselenggarakan oleh Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA).

Pada tahun 2024, negara-negara diperkirakan akan menetapkan target baru mengenai jumlah dukungan tahunan yang akan diberikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara miskin untuk transisi energi dan adaptasi terhadap dampak iklim mulai tahun 2025.

Gagal Penuhi Target

Kegagalan negara-negara kaya untuk memenuhi target mereka sebelumnya sebesar 100 miliar dollar AS per tahun pada tahun 2020 telah memperburuk kepercayaan, dan ada indikasi target tersebut kemungkinan baru tercapai pada tahun 2022.

Kini kebutuhan dana sudah jauh melebihi uang yang tersedia. Kelompok ahli pendanaan iklim yang didukung PBB memperkirakan negara-negara berkembang, kecuali Tiongkok perlu mengeluarkan sekitar 2,4 triliun dollar AS per tahun pada akhir dekade ini.

"Dunia kini harus meningkatkan standar untuk mengatasi tantangan yang kita hadapi," kata Jaber.

Kesadaran akan besarnya dukungan yang dibutuhkan telah menempatkan fokus pada perluasan sumber pendanaan.

Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional berada di bawah tekanan untuk memulai reformasi besar-besaran guna menyelaraskan pinjaman mereka dengan tujuan Kesepakatan Paris untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Inisiatif lain yang sedang dibahas termasuk perpajakan baru, terutama pada industri yang menimbulkan polusi, serta mengalihkan subsidi bahan bakar fosil ke pembangunan ramah lingkungan. Jaber memperingatkan ada risiko momentum politik dapat hilang dan kemudian memudar atau hilang di antara COPs.

Tahun 2024 dapat menimbulkan ketidakpastian yang signifikan karena sekitar separuh penduduk dunia menyaksikan pemilu di negara mereka masing-masing, termasuk di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Russia.

Sementara itu, krisis seperti invasi Russia ke Ukraina dan konflik antara Israel dan Hamas memicu gejolak internasional.

Laurent Fabius, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Prancis dan presiden pertemuan COP-21 di Paris, memperingatkan ketidakpastian politik mengaburkan gambaran pembicaraan iklim tahun ini di Baku.

Baca Juga: