Suasana asri, sejuk, dan derai aliran Sungai Berantas begitu terasa saat memasuki salah satu kampung di Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Kampung warna-warni sebutan baru dari Kampung Jodipan yang dahulu sempat menjadi salah satu wilayah terkumuh dari 10 daerah di Indonesia kini menjadi destinasi wisata internasional.
Pada tahun 2016, kampung kumuh dikunjungi para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mereka memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengubah daerah kumuh tersebut dengan memberikan sejumlah konsep, salah satunya memberikan pewarnaan.
Sebanyak 107 rumah warga di sini tampak dicat dengan 17 warna, dengan gambar yang dilukis komunitas mural, dihiasi beberapa aksesori etnik yang khas yang tidak dapat terlupakan saat mengunjungi kampung ini. Melihat hal tersebut, kampung yang memiliki 115 keluarga dengan jumlah penduduk 500 orang ini sepakat dengan konsep tersebut yang pemikiran awalnya hanyalah dianggap sebagai ajang pengecatan gratis di rumah warga sekitar.
"Saat para mahasiswa UMM tersebut datang dan menjelaskan maksud tujuan KKN mereka kepada kami, ya kami setujui saja karena semua berpikir sama, yakni rumah mereka dicat secara gratis," kata Ketua RW 02, Kelurahan Jodipan, Sonny Parin, kepada Koran Jakarta saat ditemui di Malang, kemarin.
Parin tidak menyangka, dari kebaikan mahasiswa UMM tersebut ternyata memiliki nilai mulia. Salah satunya ialah mengundang Wali Kota Malang, Mochamad Anton, dalam peresmian seusai pengecatan kampung.
"Pemkot sejak awal tidak memberikan perhatian kepada kami. Namun, begitu mahasiswa UMM datang merenovasi kampung kami, Wali Kota datang meresmikan dan kini memfasilitasi kami semua," ungkap Parin.
Parin juga mengaku heran kampungnya yang dulu dikenal sebagai permukiman kumuh, kini menjadi objek wisata alternatif, salah satunya wisatawan dari mancanegara. "Saya yang punya kampung bingung sendiri, apa ya yang mereka lihat? Ada orang Belanda dan Australia juga yang ke sini, tapi kami senang, berkat seperti ini warga bersaing dan memiliki usaha, pendapatan wilayah pun jadi meningkat," tuturnya.
Sejumlah pengunjung tampak berkeliling gang-gang sempit di dalam kampung yang berada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sementara warga di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali para wisatawan mengambil foto suasana kampung atau pun selfie. Para wisatawan itu ada yang masuk ke dalam permukiman ataupun berfoto di atas jembatan dengan latar belakang Kampung Jodipan.
Salah seorang penunjung asal Swedia, Emma Bjorklun, mengaku kagum dan menyukai rumah bercat warna-warni. Dia bersama temannya asyik berfoto dengan latar belakang dinding bergambar. "Indah dan rapi, tidak menyangka rumah ini ada di tepi sungai, dibangun konsep seperti itu," katanya.
Emma akan menyampaikan ke rekan-rekannya di Swedia untuk bertandang ke kampung wisata tersebut yang memiliki konsep yang unik dan menarik.
Masalah Sanitasi
Meski secara fisik kondisi rumah warga di kampung ini sudah diperbaiki dan temboknya dicat warna-warni, tetapi masalah utama di permukiman wisata ini yaitu sanitasi dan parkir belum dapat teratasi pada awalnya. Parin mengatakan tidak semua rumah memiliki toilet, dan warga sering membuang sampah di sungai.
Kedatangan para wisatawan justru mengubah perilaku warga. Sebuah toilet umum digunakan warga secara bergantian. "Dulu membuang sampah ya ke sungai. Sekarang malu, banyak orang datang masa perilakunya tetap," kata Parin.
Selain kepedulian sanitasi meningkat, kunjungan wisatawan ke kampung ini memberikan dampak terhadap perekonomian warga. Mereka pun berjualan minuman dan makanan ringan serta mengelola parkir kendaraan.
Kampung Jodipan dihuni warga pendatang yang mendirikan rumah di tanah milik negara tersebut. Parin mengaku telah mendengar kampung ini terancam digusur dan warga akan direlokasi ke rumah susun. "Kami memang menempati tanah negara, tapi setiap tahun membayar pajak bumi dan bangunan. Jujur saja, kami nyaman dan kerasan tinggal di kawasan bantaran sungai ini," imbuhnya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, sempat mengunjungi kampung warna-warni 23 September 2016, dan memberikan toleransi bagi warga yang tinggal di titik tertinggi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
Meski awalnya kampung ini terancam digusur, tetapi sekarang Wali Kota Malang justru menetapkan permukiman warga Jodipan dan Ksatrian di bantaran Sungai Brantas sebagai objek wisata. franciscus theojunior/N-3