Insentif untuk bahan bakar fosil 117 kali lebih tinggi dibanding untuk energi terbarukan.

Bank Dunia meminta pemerintah mereformasi kebijakan subsidi yang salah sasaran.

JAKARTA - Lembaga riset International Institute for Sustainable Development (IISD) menyatakan bahwa dukungan fiskal dari pemerintah Indonesia ke bahan bakar fosil masih terlalu besar sehingga berpotensi memperlambat transisi energi dan menguras anggaran publik.

Penulis utama laporan IISD bertajuk Indonesia's Energy Support Measures: An Inventory of Incentives Impacting the Energy Transition, Anissa Suharsono, dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (23/6), mengatakan Indonesia harus lebih kritis dan perlu mengalihkan dukungan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.

Hal itu untuk memenuhi target iklim dan target bauran energi, dan mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya tidak stabil.

Dia menyebut nilai insentif untuk bahan bakar fosil 117 kali lebih tinggi dibanding untuk energi terbarukan. Dari dukungan energi di Indonesia yang mencapai 279 triliun rupiah pada tahun anggaran 2020, sekitar 88 persen atau 246 triliun rupiah dialokasikan untuk bahan bakar fosil.

Pemerintah sebut laporan IISD menyediakan setidaknya 74 triliun rupiah untuk industri minyak dan gas (migas), lalu 112 triliun rupiah untuk listrik berbasis fosil, dan 61 triliun rupiah untuk sektor batu bara.

"Insentif untuk bahan bakar fosil disebut mencapai 117 kali lebih tinggi dari dukungan untuk energi terbarukan yang hanya menerima dua triliun rupiah atau kurang dari 1 persen dibanding total dukungan ke sektor energi, sementara 31 triliun rupiah untuk biofuel dan 19 miliar rupiah untuk kendaraan listrik," kata Anissa.

Dalam konteks harga energi yang melonjak saat ini, angka-angka insentif itu diperkirakan meningkat secara signifikan pada 2022.

Studi IISD juga menyoroti dukungan luar biasa Indonesia untuk sektor bahan bakar fosil pada periode 2016-2020, dengan 94 persen rata-rata per tahun dialokasikan untuk minyak dan gas, serta listrik berbasis batu bara, dan hanya 1 persen untuk energi terbarukan.

Para ahli memperingatkan dukungan Indonesia yang tidak proporsional untuk bahan bakar fosil memperlambat transisi energi, menguras anggaran publik, mempercepat perubahan iklim, dan membahayakan kesehatan masyarakat.

"Insentif ini mewakili biaya yang sangat besar untuk anggaran publik, terutama dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini, dan sangat merugikan kesehatan masyarakat dan iklim," kata Anissa.

Di tengah melonjaknya harga energi dan krisis biaya hidup, IISD merekomendasikan agar subsidi ke PT Pertamina dan PLN ditujukan untuk mendukung masyarakat miskin dan rentan.

Reformasi Subsidi

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Habib Rab, menyarankan agar Indonesia segera mereformasi kebijakan subsidi, meskipun subsidi energi saat ini mungkin diperlukan untuk bantuan jangka pendek dari tekanan harga komoditas.

Pertimbangan perlunya reformasi subsidi, kata Habib, karena pola subsidi saat ini sebagian besar menguntungkan rumah tangga kelas menengah. Kelompok menengah tersebut mengonsumsi solar bersubsidi dan LPG bersubsidi dalam porsi yang besar.

"Jika kedua subsidi ini diganti dengan transfer sosial yang ditargetkan untuk masyarakat miskin, rentan, dan kelas menengah, pemerintah dapat memiliki tambahan 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk belanja prioritas pembangunan," kata Habib.

Begitu pula dengan subsidi energi yang hanya bersifat sementara untuk menahan inflasi, sehingga diperlukan pemikiran rencana keluar atau exit plan bertahap dan terukur.

Secara terpisah, pengamat energi, Fabby Tumiwa, mengatakan pada periode 2015 hingga 2020, subsidi energi fossil mengambil rata-rata 9 persen dari total belanja negara.

"Porsi itu semakin besar seiring dengan kenaikan harga komoditas pada tahun lalu hingga saat ini," kata Fabby.

Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmi Radhi, mengatakan pemerintah masih tersandera oleh kepentingan industri kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.

"Presiden Jokowi awal pekan ini mengingatkan besarnya nilai subsidi BBM yang mencapai 502 triliun rupiah atau lebih besar untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara senilai 466 triliun rupiah, tapi itu akan jadi sebatas wacana kalau tidak dicari solusinya," kata Fahmi.

Solusinya, jelas Fahmi, adalah pemerintah jangan tersandera manufaktur otomotif Jepang berbasis fosil yang menguasai pasar Indonesia, tetapi mengarahkan mereka beralih memproduksi mobil listrik.

Baca Juga: