Oleh Ikhsan Yosarie

Masuknya para purnawirawan jenderal ke dalam politik praktis tidak hanya menyangkut posisi mereka dalam struktur pemerintahan, tapi juga praksis demokrasi nasional. Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, Agum Gumelar, Moeldoko, Subagyo Hadi Siswoyo, Yusuf Kartanegara, Try Sutrisno, dan Wisnu Bawa Tenaya adalah sebagian pensiunan tentara yang berada dalam lingkaran struktur pemerintahan sebagai menteri, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Kepala Staf Presiden (KSP).

Jika ada anggapan masuknya mereka ke dalam struktur pemerintahan akan merusak sistem demokrasi, wajar saja. Landasan utamanya tentu watak, pengalaman Dwifungsi ABRI, dan background mereka. Mereka dididik dengan cara-cara militer atau cara-cara yang relevan dengan statusnya sebagai alat negara dan fungsinya sebagai alat pertahanan keamanan. Lebih dari itu, mereka juga dididik dengan garis komando yang cenderung paradoks dengan nilai-nilai kebebasan berdemokrasi.

Secara konseptual, pembahasan mengenai fenomena ini akan sampai pada relasi sipil-militer. Meskipun purnawirawan jenderal (PJ) bukan lagi prajurit aktif dan telah menjadi warga biasa, tetap saja dianggap dekat dengan TNI ataupun Polri secara institusi sebagai mantan korps. Indikasi yang muncul cukup masuk akal seperti kecemasan terganggungnya netralitas dan profesionalitas. Pangkat jenderal berpengaruh kuat terhadap institusi. Apalagi selevel mantan panglima atau kepala staf angkatan.

Kemudian, relasi para PJ ini tentu akan sampai pada petinggi-petinggi TNI dan Polri yang bisa berpengaruh secara politis. Lebih lanjut, anggapan tersebut juga dapat dicerna bahwa sampai kapan pun, militer tetaplah militer. Sebab dari sanalah jati diri dan identitas mereka ditempa dan terbentuk. Ada adagium universal yang menguatkan cara berpikir demikian. Bunyinya, old soldier never die. They just fade away.

Selain kedekatan PJ dengan institusi masing-masing, mereka juga dekat dengan prajurit aktif. Rasa saling menghormati, kepangkatan, senioritas (tahun masuk), jiwa militer dan esprit de corps menjadi nilai dasar relasi. Hal inilah yang menghubungkan purnawirawan dengan prajurit aktif. Meskipun telah pensiun, cara pandang dan jiwa tetaplah militer. Mereka yang berada di luar korps, tentu tidak akan bisa menghayati kehidupan, pelaksanaan tugas, semangat, dan perasaan dalam kesatuan korps tersebut.

Memasuki era demokrasi, supremasi sipil menjadikan TNI dan Polri harus tunduk pada otoritas sipil. Filosofi demikian yang bisa dipahami untuk menjawab mengapa dua institusi tersebut bisa menjadi alat negara dan berada di bawah kendali pemerintah sipil. Meski demikian, pola relasi sipil-militer harus senantiasa diawasi agar tidak mengarah pada pemanfaatan alat negara secara politis untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.

Sipil-Militer

Dalam pola relasi sipil-militer, indikasi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap alat negara tetap ada. Relasi yang tidak tepat, tentu akan merusak tataran norma dan nilai dalam sistem demokrasi. Apalagi salah satu relasi terkait dengan alat negara yang memiliki persenjataan lengkap. Samuel Huntington mengemukakan dua relasi yang mencerminkan hubungan sipil-militer dalam suatu negara.

Pertama, Objective Civilian Control atau Militarizing the Military. Relasi ini merupakan pengendalian sipil objektif dengan memberi semacam otonomi kepada militer. Ini penting karena banyak di dalam tubuh militer tidak diketahui sipil. Suatu korps perwira yang profesional seperti di barat selalu siap melaksanakan kehendak sipil penguasa yang sah pemerintahan suatu negara (Nugroho Notosusanto, Seri Prisma:1995).

Kedua, Subjective Civilian Control atau Civilianizing the Military. Relasi ini terjadi ketika salah satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan mereka. Pola ini juga memungkinkan militer dikendalikan oleh korporasi melalui perantara kelompok berkuasa. Tipe relasi ini dapat merusak sistem demokrasi sebuah negara sekaligus internal institusi bersangkutan karena bisa menimbulkan friksi perwira di dalam tubuh TNI dan Polri.

Dalam relasi ini, kelompok penguasa tentu dapat dengan leluasa infiltrasi politik ke dalam tubuh intitusi TNI dan Polri. Campur tangan dalam birokrasi TNI dan Polri, atau bahkan perihal kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target penguasa demi menciptakan utang politik perwira kedua institusi tersebut kepada pemerintah.

Dalam konteks relasi sipil-militer, bisa dipahami bahwa masuknya PJ ke dalam politik praktis dan struktur pemerintahan berpotensi mengantisipasi terciptanya relasi negatif dan menjaga supremasi sipil. Relasi Subjective Civilian Control dapat ditekan dengan adanya jiwa militer dan esprit de corps para pensiunan yang akan muncul demi memagari netralitas, profesionalitas, dan harga diri korps.

Ketika alat negara berubah menjadi alat penguasa dan dijadikan penopang pemerintahan layaknya militer di zaman Orde Baru, menurut mantan Pangkopkamtib Soemitro, kondisi seperti ini mencerminkan TNI-Polri mengalami proses down graded (penurunan derajat): dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik (Salim Said, 2006).

Ungkapan old soldier never die. They just fade away dapat diposisikan sebagai sesuatu yang positif dalam hal ini. PJ tersebut tetap merupakan bagian dari korps masing-masing. Mereka bisa berada pada posisi pembatas antara institusi alat negara dan lembaga sipil. Jika salah satu dari kedua kelompok melewati batas, misalnya, intitusi alat negara bermain politik praktis, atau lembaga sipil melalui politisinya melakukan infiltrasi, PJ dapat beroperasi menjadi pemutus rantai ilegal tersebut. Ibaratnya PJ berada "di atas" kedua golongan tersebut, bila indikasi relasi Subjective Civilian Control muncul.

Lebih lanjut, PJ juga dapat berperan lebih dalam menjaga supremasi sipil. Posisi mereka yang dihormati dan mantan jenderal tentu berpengaruh. Mereka bisa mereduksi kemungkinan-kemungkinan "ketidaksenangan" institusi TNI dan Polri kepada pemerintah. Misalnya, persoalan anggaran belanja, peralatan persenjataan, maupun kesejahteraan anggota. Artinya, PJ menjadi penghubung kedua pihak, sehingga dapat meredam konflik-konflik yang berpotensi muncul.

Harapannya, tentu para PJ yang telah berada pada teras kekuasaan tidak berpikir pragmatis terhadap jabatan. Jiwa militer yang senantiasa setia untuk melindungi negara dan bangsa, tidak boleh terkikis hanya karena mengincar jabatan seperti menjadi materi.

Penulis Peneliti Setara Institute Jakarta

Baca Juga: