JAKARTA - Soiolog sekaligus mantan anggota Komisi Nasional Perempuan Indonesia, Neng Dara Affaih mencatat adanya persamaan gerakan perempuan Muslim progresif di Tanah Air. Terutama dalam rentang tahun 1990 sampai 2010, yang disebutnya sebagai masa transisi orde baru ke orde reformasi. Kata Neng Dara, aktor gerakan di dua paruh waktu itu saling terkait atau punya hubungan.

"Terdapat persamaan gerakan perempuan muslim progresif di era Orde Baru dan di era Reformasi," kata Neng Dara, di acara peluncuran dua buku berjudul," Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia," dan "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas," di Gedung Perpustakaan Nasional, di Jakarta, Rabu (10/1). Dua buku itu sendiri ditulis Neng Dara Affiah.

Menurut Neneng, aktor gerakan perempuan Muslim Indonesia di tahun 1998-2010 hampir seluruhnya memiliki keterkaitan dengan aktor dan organisasi gerakan di tahun 1990-1998. Neng Dara pun membaca itu sebagai sebuah keterkaitan. Atau dalam bahasa dia, wacana dan gerakan kritis yang dibangun di era sebelumnya punya dampak pada era sekarang. Tidak hanya itu, peran ulama dan sarjana pria juga punya kontribusi besar mendorong menguatnya gerakan perempuan muslim progresif di Tanah Air. "Ulama dan sarjana pria memiliki kontribusi signifikan dalam gerakan perempuan muslim di era Orde Baru maupun di era reformasi," katanya.

Ada semacam kesadaran dari para perempuan Muslim untuk berpikir progresif. Mereka, merasa selama ini tafsir terutama tafsir ajaran keagamaan, kental dengan budaya patriarki. Tidak hanya dalam tafsir keagamaan, namun dalam kehidupan sosial bahkan domestik, kultur patriarki begitu kuat mencengkram.Ini yang kemudian menggeliatkan munculnya gerakan perempuan muslim progresif. Gerakan itu bertumpu pada usaha untuk keluar dari kultur patriarkis, di mana laki-laki sebagai yang utama dan perempuan adalah komplemennya, menuju masyarakat yang setara dan bebas mengemukakan pendapat secara bebas.

"Kultur patriarki yang saya maksud adalah kultur yang mengutamakan laki-laki sebagai sesuatu yang utama dan perempuan mengikutinya. Jadi seirama atau setara tetapi dia di atas, laki-laki yang utama dan perempuan hanya sebagai pelengkap," kata perempuan yang juga aktif di Fatayat NU tersebut.

Gerakan perempuan ka- ta dia, mencoba mendorong suatu masyarakat yang demokratis. ags/AR-3

Baca Juga: