Belum kuatnya payung hukum terkait migas menyebabkan para pelaku usaha atau kontraktor migas menjadi kesulitan untuk membangun dan mengembangkan industri hulu migas.

JAKARTA - Undang-undang (UU) mengenai minyak dan gas bumi (migas) perlu direvisi guna memacu produksi di sektor tersebut. Sebab, regulasi saat ini dinilai tak efektif memacu produksi di dalam negeri sehingga target sering kali meleset tiap tahunnya.

Anggota Komisi VII DPR, Ridwan Hisjam, mendorong revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) untuk mendongkrak lifting minyak dalam negeri, sehingga target sebesar satu juta barel per hari pada 2030 tercapai. "Untuk mencapai itu memang harus ada beberapa perubahan, terutama yaitu UU Migas, di mana UU Migas ini sudah ada sejak 2001," ujar Ridwan Hisjam dalam video singkat, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube TVR Parlemen, di Jakarta, Selasa (13/2).

Dia memaparkan, pada 2023, capaian lifting minyak dalam negeri sebanyak 605.500 barel minyak per hari (bph). Angka tersebut tidak sesuai dengan target nasional 2023 yakni sebesar 660 ribu barel minyak per hari.

Komisi VII DPR RI, ujar Ridwan, berharap agar penghasilan sektor minyak dan gas dapat berkontribusi positif bagi pemenuhan devisa negara. Karena itu, bagi Ridwan, sudah saatnya untuk melakukan sejumlah perubahan, salah satunya dengan merevisi UU Migas.

"Sudah waktunyalah. (UU Migas) sudah sekitar 23 tahun, itu sudah harus kita evaluasi," kata Ridwan.

Lebih lanjut, Ridwan menambahkan belum kuatnya payung hukum terkait migas menyebabkan para pelaku usaha atau kontraktor migas menjadi kesulitan untuk membangun dan mengembangkan industri hulu migas. Dengan demikian, Ridwan memandang perlu melakukan revisi UU Migas, sehingga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dapat menjadi badan usaha khusus.

"Sehingga memiliki kewenangan yang lebih kuat," kata Ridwan.

Produksi Turun

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengatakan terdapat penurunan lifting minyak sebesar 1 persen pada 2023 apabila dibandingkan dengan 2022. Pada 2023, realisasi lifting minyak sebesar 605.500 barel minyak per hari, sedangkan pada 2022 realisasi lifting minyak sebesar 612.300. Penurunan tersebut, kata Dwi, lebih kecil dibandingkan 2022. Pada 2022, lifting minyak mengalami penurunan sebesar 7 persen.

Dia menyampaikan investasi secara masif, khususnya di pemboran sumur pengembangan telah mampu mengurangi laju penurunan produksi pada mayoritas lapangan produksi yang sudah ageing sehingga lifting minyak pada 2023 hanya turun 1 persen. "Mudah-mudahan ini terus kami bisa kurangi," kata Dwi.

Pada kesempatan lain, pengamat energi, Hanifa Sutrisna, mengingatkan berbagai praktik seperti penambangan sumur minyak ilegal, illegal tapping, dan juga pengoplosan LPG, sangat berbahaya. Oleh karena itu harus segera dihentikan. Dia mencontohkan untuk penambangan sumur minyak ilegal sangat berisiko dan tidak memenuhi standar keselamatan, selain juga para penambang tidak mengetahui keberadaan gas.

"Gas itulah yang menimbulkan ledakan. Para penambang ilegal berusaha memapas lubang, kemudian melakukan drilling. Padahal, mereka tidak memiliki pengetahuan yang baik. Sama sekali tidak ada faktor safety," katanya.

Penambangan sumur minyak ilegal sering menimbulkan korban jiwa, kasus terakhir terjadi pekan lalu di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin, Kabupaten Batanghari, Jambi. Kegiatan tersebut menimbulkan kebakaran hebat dan menyebabkan satu pekerja tewas. Dalam peristiwa maut tersebut, api diduga berasal dari percikan saat pengeboran sumur minyak baru.

Baca Juga: