JAKARTA - DPR akan memanggil paksa Menteri Perdagangan (Mendag), M. Lutfi, untuk menjelaskan masalah kelangkaan minyak goreng di masyarakat yang belum bisa diatasi sampai saat ini. Pemanggilan paksa itu karena Mendag sudah dipanggil dua kali, namun yang bersangkuatn tidak pernah hadir.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan institusinya kesulitan menjalankan fungsi pengawasan terkait kelangkaan minyak goreng di Indonesia karena belum mendapat penjelasan dari Mendag sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

Anggota Komisi VI DPR, Amin AK, mengkritisi kelangkaan minyak goreng di berbagai daerah di Indonesia. Menurut dia, akibat kelangkaan tersebut, rakyat harus mengantri untuk mendapatkan 1-2 liter minyak goreng, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

"Karut-marut tata kelola di negeri penghasil 58 persen sawit di dunia adalah sebuah ironi yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Tahun 2021, produksi crude palm oil (CPO) kita sebesar 46,88 juta ton, di 2020 sebesar 47,03 juta ton, lalu di tahun 2019 sebesar 47,18 juta ton," katanya.

Pemerintah, jelasnya, sebenarnya memiliki berbagai instrumen untuk menegakkan aturan misalnya Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan pemberian sanksi penjara bagi pelaku penimbun kebutuhan pokok.

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya mengatakan keengganan Mendag hadir di DPR justru makin menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng memang disebabkan oleh kebijakannya.

"DPR kan wakil rakyat, bagaimanapun sebagai Menteri ya wajib datang. Memang masalah minyak goreng ini menunjukkan kesalahan mendasar kebijakan pemerintah mengenai rantai pasok dari hulu, ya sudah buka saja," papar Dwijono.

Menurut Dwijono, sudah semestinya negara memiliki kekuatan, terutama untuk membuat kejelasan di pasar sehingga konsumen tidak dikorbankan. Minyak goreng ini sangat dibutuhkan untuk produksi usaha rakyat khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

"Saat ini di luar negeri harga CPO naik, jangan konsumen atau rakyat kecil yang dikorbankan. Intinya kan itu. Soal teknisnya kan kita sama-sama tahu, jelas semua masalah ini. Nah, Mendag ini mesti tanggung jawab jangan malah menghindari DPR," papar Dwijono.

Disparitas Harga

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika dalam keterangan pers seperti dikutip dari Antara mengatakan akar masalah dari kelangkaan minyak goreng di pasaran saat ini karena disparitas harga antara kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) yang ditetapkan pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET), dan harga pasar.

Harga DPO, katanya, sebesar 9.300 rupiah untuk CPO di dalam negeri, harga minyak goreng curah 14 ribu rupiah per liter, dan harga di pasar tradisional yang masih tinggi sekitar 20-30 ribu rupiah per liter sehingga menimbulkan kelangkaan.

Dia menduga kelangkaan terjadi karena para spekulan bermain, baik berupa penyelundupan ataupun penimbunan minyak goreng.

"Ombudsman melihat bahwa akar permasalahan kelangkaan minyak goreng ini karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar. Disparitas harga itu berkisar antara 8.000-9.000 rupiah, jadi bisa dibayangkan disparitas ini memunculkan hal-hal yang jadi penyebab spekulasi," kata Yeka.

Baca Juga: