Jepang, penghasil emisi karbon terbesar kelima di dunia, telah berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 tetapi menghadapi kesulitan karena sangat bergantung pada tenaga panas berbahan bakar batu bara setelah sebagian besar reaktor nuklirnya dibangun setelah bencana Fukushima tahun 2011.

Kini, Jepang menjadi salah satu negara yang menggencarkan peralihan ke energi baru dan terbarukan (EBT). Ibu Kota Jepang yakni Tokyo membuat kebijakan untuk pemanfaatan tenaga surya dalam pembangunan.

Berdasarkan peraturan baru yang disahkan oleh majelis lokal Ibu Kota Jepang pada Kamis (15/12), semua rumah atau bangunan baru yang dibangun diwajibkan memasang panel surya atap mulai tahun 2025 mendatang. Ini bertujuan untuk mendorong peralihan penggunaan energi terbarukan, serta mengurangi emisi karbon rumah tangga.

Mandat tersebut, yang pertama dari jenisnya untuk kotamadya Jepang, membutuhkan sekitar 50 pembangun besar untuk melengkapi rumah seluas hingga 2.000 meter persegi (21.500 kaki persegi) dengan sumber daya energi terbarukan, terutama panel surya.

Dilansir dari Japan Times, Tokyo menjadi penghasil emisi karbondioksida utama, baik secara nasional maupun global. Kota tersebut menyumbang 4,7 persen dari total nasional pada 2019, menurut pemerintah metropolitan. Sementara, data dari C40 Cities Climate Leadership Group, sebuah kelompok yang terdiri dari 97 kota di seluruh dunia, menunjukkan bahwa Tokyo adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Masanari Furudate, seorang pejabat pemerintah metropolitan yang bertanggung jawab atas perencanaan kota lingkungan, mengatakan bahwa selain perubahan iklim, perang di Ukraina telah menambah rasa urgensi bagi pemboros energi seperti Tokyo untuk mempercepat peralihan ke energi terbarukan. Menyoroti dampak perang terhadap kebutuhan energi Jepang, tingkat swasembada energi negara itu hanya mencapai 13,4 persen pada tahun fiskal 2021, yang berlangsung hingga Maret, tahun terakhir yang datanya tersedia.

"Tokyo telah lama menganggap serius krisis iklim dan telah membuat kebijakan menuju dekarbonisasi," ujar Furudate.

"Tetapi invasi Rusia ke Ukraina (pada bulan Februari), dan lonjakan harga energi yang diakibatkannya, telah meningkatkan kebutuhan kita untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor energi dan mempromosikan produksi energi lokal," tambahnya.

Furudate menjelaskan, Tokyo memiliki potensi besar untuk memanen energi surya. Dari lebih dari 2,2 juta bangunan di Tokyo, hanya 4,24 persen, atau sekitar 95.000, yang memasang panel surya pada tahun fiskal 2019.

Baca Juga: