JAKARTA - Upaya pemerintah menjaga ketahanan pangan dengan mengimpor komoditas beras untuk memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) terbukti gagal menahan kenaikan harga beras. Kegagalan itu karena CBP seharusnya memprioritaskan penyerapan produksi petani dalam negeri, bukan dari impor.

Sementara itu, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah ditetapkan lebih rendah dari harga yang ada di petani. Akibatnya, Bulog tidak berani membeli produksi petani karena harganya lebih tinggi dari yang ditetapkan.

Direktur Program Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, di Jakarta, Jumat (2/2), mengatakan diversifikasi pangan merupakan salah satu kunci dalam menangani lonjakan harga beras saat ini.

"Saya kira kita tidak harus makan beras. Ada macam-macam sumber karbohidrat, tidak hanya dari beras, bisa dari singkong, sorgum. Jadi, konkretnya adalah diversifikasi pangan," kata Esther.

Strategi itu, katanya, memiliki potensi untuk menciptakan kestabilan pada pasokan pangan dan mengurangi risiko inflasi seiring dengan kenaikan harga beras. Ia mencontohkan masyarakat Papua sebaiknya tidak dipaksa untuk mengonsumsi beras, melainkan diberi kebebasan untuk tetap makan umbi-umbian dan sagu sesuai dengan kebiasaan mereka.

Begitu pula dengan masyarakat Nusa Tenggara yang dulu terbiasa makan nasi jagung. Mereka seharusnya diberi keleluasaan untuk mempertahankan pola konsumsi tersebut.

"Jadi, harus ada diversifikasi pangan sehingga kalau ada kenaikan harga beras, kita tidak perlu panik.

Swasembada Beras

Diversifikasi, tambahnya, bukan hanya sebagai solusi praktis, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih luas dan fleksibel sehingga dapat terwujud swasembada beras.

Selain diversifikasi pangan, kebijakan kontrol harga beras perlu dilakukan dengan memastikan suplai atau stok beras di masyarakat tetap aman, begitu juga dengan distribusi beras tidak terhambat. Hal lainnya adalah memastikan biaya transportasi terjaga agar tidak menambah biaya produksi.

"Sekarang kita adalah importir beras. Kalau bisa kita memproduksi beras sendiri supaya lebih mudah mengontrol harga beras dan bisa memenuhi pangan masyarakat dari produksi dalam negeri sendiri," kata Esther.

Apalagi, dampak kenaikan harga beras sangat signifikan terhadap perekonomian, terutama rumah tangga miskin yang 50 persen lebih pendapatannya dialokasikan untuk konsumsi pangan.

"Kita harus penuhi perut kita sendiri dari produksi dalam negeri. Jangan mengandalkan pangan dari negara lain. Kita harus melakukan swasembada pangan," kata Esther.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat kenaikan harga beras masih terjadi di 28 provinsi pada Januari lalu. Hanya 10 provinsi yang harga berasnya turun, namun untuk seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Bali serta Nusa Tenggara tercatat naik.

Baca Juga: