Ribuan mantan anggota Tentara Nasional Afghanistan (ANA) yang sempat dilatih Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan berperang sebagai tentara bayaran Rusia di Ukraina dan medan perang lainnya.

Langkah itu diambil mereka setelah kehilangan status dan tempat tinggal usai AS menarik militernya di Afghanistan yang membuat Taliban kembali menguasai pemerintahan negara itu pada tahun lalu.

Sejak saat itu, ribuan mantan tentara Afghanistan memilih tinggal di Iran untuk mencari perlindungan dari Taliban.

Melansir Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka dan hidup dalam kemiskinan di Iran. Beberapa dari mereka bahkan harus bekerja kasar hingga mengobrak-abrik sampah untuk dijual guna memenuhi kebutuhan.

Kedua faktor itulah yang mendorong keputusan mereka untuk mengambil kelompok tentara bayaran swasta Rusia dalam tawaran perekrutannya.

Menurut pesan WhatsApp yang dilihat oleh Radio Azadi dari RFE/RL, beberapa mantan komando Afghanistan telah bergerak untuk bergabung dengan Vagner Group. Kelompok yang juga dikenal sebagai Wagner itu merupakan sebuah organisasi paramiliter swasta yang memainkan peran penting dalam perang Kremlin melawan Ukraina.

Tentara Afghanistan di Iran mengatakan mereka berencana menerima tawaran perekrutan Vagner karena merasa dikhianati oleh AS dan pemerintah Afghanistan yang didukungnya, yang selama ini telah mereka perjuangkan.

Sebagai informasi, Tentara Nasional Afghanistan (ANA) dan pasukan komando elitnya dilatih oleh AS dan sekutu Barat. Mereka inilah yang menjadi tulang punggung pertahanan mantan pemerintah Afghanistan untuk mempertahankan negara, termasuk memerangi Taliban dan kelompok ekstrimis ISIS.

Ketika AS menarik pasukannya, Taliban dengan cepat menguasai negara itu dan membuat pasukan Afghanistan dengan cepat menyerah. Banyak pemimpin Afghanistan melarikan diri ke luar negeri saat pejuang Taliban turun ke Kabul.

"Setelah jatuhnya rezim presiden pengkhianat negara itu, [Amerika Serikat] menjual kami dan menyerahkan negara itu kepada teroris (Taliban)," kata seorang mantan anggota pasukan khusus Afghanistan, yang tidak menyebutkan namanya, seperti dikutip dari REF/RPL.

"Kami tidak punya tempat tinggal lagi di Afghanistan, karena teroris Taliban mengejar kami. Beberapa rekan kami ditangkap dan dipenggal, dan kami terpaksa meninggalkan Afghanistan," sambungnya.

Menurut RFE/RL pembunuhan di luar hukum terhadap mantan pekerja militer dan pemerintah Afghanistan didokumentasikan dengan baik. Setidaknya terjadi 100 pembunuhan seperti itu pada bulan-bulan pertama Taliban memerintah.

Tak hanya itu, tentara Afghanistan juga mempercayai bahwa mantan pemerintah Afghanistan merusak upaya perang dan mencuri dana yang telah dialokasikan untuk tentara.

Menurut sebuah laporan Business Insider, mantan pejabat Afghanistan dilaporkan menyelundupkan hampir emas dan uang tunai senilai 1 miliar dolar AS ke luar negeri saat pemerintahan mereka hampir runtuh.

Pada bulan November, Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) mengutip korupsi sebagai salah satu faktor yang mempercepat jatuhnya pemerintah Afghanistan dan membuka jalan bagi Taliban untuk membangun kembali kendali mereka atas negara itu.

Selain perang Rusia melawan Ukraina, RFE/RL menuturkan sebagian kecil mantan tentara Afghanistan telah direkrut untuk berperang dalam konflik lain, termasuk untuk Iran di Yaman, dan di Suriah dan bahkan di Nagorno-Karabakh, menurut Ahmadi.

Namun, belum ada bukti yang menunjukkan pasukan Afghanistan benar-benar telah mencapai medan perang di Ukraina. Dinas keamanan terkait pun tidak menjawab pertanyaan yang dikirim oleh RFE/RL mengenai kemungkinan bergabungnya mantan tentara Afghanistan untuk memerangi Ukraina.

Sementara itu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa departemen mengetahui laporan yang belum dikonfirmasi bahwa kelompok Vagner merekrut mantan tentara Afghanistan yang tinggal di luar Afghanistan.

"Kami memahami beberapa warga Afghanistan mungkin rentan terhadap bujukan moneter [Vagner], tetapi akan memperingatkan siapa pun agar tidak bergabung dalam invasi ilegal ke Ukraina," katanya.

Baca Juga: