oleh Dian Puji N Simatupang
Status hukum anak perusahaan BUMN menjadi mengemuka, ketika pemohon dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan presiden mendalilkan salah satu pasangan calon dianggap masih berstatus sebagai karyawan atau pejabat pada anak perusahaan BUMN, meskipun Pasal 227 huruf p UU No. 27 Tahun 2017 mencantumkan larangan pada jabatan BUMN atau BUMD. Pemohon menyatakan anak perusahaan BUMN juga merupakan BUMN karena penyertaan modalnya berasal dari BUMN tersebut dan berujung pada penyertaan modal dari negara.
Adanya diskursus anak perusahaan BUMN tersebut membangunkan kembali perdebatan klasik mengenai ruang lingkup BUMN dan Keuangan Negara di Indonesia yang sudah sejak lama terjadi. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan 62 Tahun 2013 yang menyatakan perluasan keuangan negara tetap konstitusional dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 21 Tahun 2017 yang menyatakan anak perusahaan BUMN adalah perusahaan BUMN, namun dalam tataran teori hukum keuangan publik, BUMN dan anak perusahaan BUMN merupakan entitas hukum yang berbeda dan terpisah dalam tata kelola, regulasi, dan risikonya.
BUMN sebagai badan hukum memperoleh penyertaan modal negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga secara hukum kekayaan dan keuangan tersebut menjadi kekayaan dan keuangan BUMN, sedangkan negara memperoleh saham sebagai gantinya. Demikian juga, anak perusahaan BUMN sebagai badan hukum memperoleh penyertaan modal dari BUMN induknya sebagai kekayaan BUMN yang dipisahkan, sehingga secara hukum kekayaan dan keuangan anak perusahaan menjadi milik anak perusahaan BUMN tersebut, dan BUMN induknya menerima saham sebagai gantinya.
Adanya saham yang dimiliki negara pada BUMN dan saham yang dimiliki BUMN pada anak perusahaan bukan menunjukkan bukti kepemilikan atas kekayaan dan keuangan yang telah disetorkan atau dipisahkan, melainkan sebagai bukti pengendalian secara korporasi. Sehingga tata kelola perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN akan merujuk pada seberapa besar saham yang dapat menjadi dasar pengendalian. Oleh karenanya, saham bukan menunjukkan tidak berubahnya status keuangan atau kekayaan itu tetap menjadi milik negara atau milik BUMN, tetapi menunjukkan bukti pengendalian guna menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan m e n g a n d u n g kepastian hukum.
D a l i l yang men y a t a k a n anak perusahaan BUMN termasuk BUMN merupakan akibat dari pola pikir Pembentuk Undang-Undang, Aparatur Penegak Hukum (APH), dan Auditor Negara (BPK) yang menyatakan keuangan negara meluas jauh kemana pun mengalir. Paham perluasan keuangan negara ini dianut oleh sebagian besar pakar, sehingga seakan-akan menjadi pola padanan kebenaran. Padahal, keuangan negara harus memenuhi kepastian hukum (rechtszerkeid), sehingga dalam kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan peraturan perundang-undangan (positief rescht) memiliki padanan yang sama.
Kerumitan Hukum
Perdebatan klasik mengenai keuangan negara-BUMN-anak perusahaan BUMN ini membawa dampak buruk pada tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia. BUMN dan anak perusahaan BUMN menjadi rentan terhadap ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam pengurusan dan pengelolaannya, meskipun telah dilaksanakan dengan itikad baik, profesional dan penuh kehati-hatian.
Selain itu, perdebatan demikian mengesampingkan tata kelola (rechtregiem) setiap sektor keuangan, yang akhirnya justru membawa kesulitan sendiri bagi para pihak, termasuk Pemerintah dan DPR, serta Auditor BPK dan APH. Misalnya, dalam dalil anak perusahaan yang dianggap BUMN ini tidak akan terjadi jika semua pihak memahami dan memastikan semua sektor keuangan mempunyai tata kelola, regulasi, dan risikonya masing-masing yang terpisah sebagai sebuah entitas hukum tersendiri.
Menurut teori pemisahan tanggung jawab dan pembatasan risiko (separation of responsiblities and limitations of risk), anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, demikian juga BUMN bukanlah Negara, sehingga semuanya tidak dapat disatukan dengan alasan adanya aliran penyertaan modal sebagai bukti kepemilikan yang bersifat menyatu. Penyertaan modal adalah bukti pengendalian menurut tata cara perusahaan, sehingga menyatakan BUMN dan anak perusahaan BUMN sama dengan negara, berarti mempertahankan kerumitan tersebut di masa depan dan menciptakan ketidakpastian hukum dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya.
Kerumitan hukum yang paling aktual terkait anak perusahaan adalah dalam kasus investasi yang dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina, yaitu PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Dalam sebuah aksi korporasinya PHE telah berinvesati di Blok Migas Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009, yang kemudian menjadi kasus pidana. Karena adanya ketidakpastian hukum dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya tersebut di atas, kini Mantan Direktur Utama, Karen Agustiawan, telah divonis PN Tipikor Jakarta 8 tahun penjara dan Denda 1 miliar rupiah.
Persoalan ini menjadi unik karena status hukum anak perusahaan Pertamina dengan segala kegiatan investasi dan korporasinya, merupakan persoalan Perdata dan berada dalam ranah hukum Perdata. PHE tidak mempunyai saham atas unjuk Negara Republik Indonesia, sehingga seluruh tindakan korporasi dan investasinya tidak mungkin akan menimbulkan kerugian negara. Hal ini disebabkan karena PHE adalah sebuah Entitas Hukum Perdata yang terpisah secara tegas dengan Keuangan dan Kekayaan BUMN induknya (Pertamina), terlebih dengan Keuangan dan Kekayaan Negara.
Kerumitan tersebut menimbulkan paradoksal yang luar biasa pada penegakan hukum dan tata kelola di BUMN dan anak perusahaannya. Akibatnya, ketidakpastian hukum terjadi, pengurus dan pejabat BUMN yang beritikad baik terjebak ke dalam tuduhan melakukan Tipikor dan dihukum berdasarkan persepsi, bukan karena norma hukum yang jelas dan pasti!
Konsep Akhir
Dalil yang menyatakan anak perusahaan BUMN adalah BUMN secara hukum harus dihapus karena muncul dari persepsi hukum yang keliru, Norma Perundang-Undangan yang tidak pasti, dan Praktik Putusan Pengadilan, APH, dan Auditor BPK yang tidak didasari pemahaman falsafah hukum yang memadai.
Negara melalui alat negara, politik hukumnya, dan seluruh aparaturnya harus konsisten mengembalikan marwah korporasi negara sebagai korporasi yang membawa keuntungan negara melalui cara korporasi dengan pengendalian negara. Saatnya kini Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN bersama-sama menyelesaikan mana yang disebut Keuangan Negara dan mana yang disebut Perbendaharaan Negara. Jangan campur-adukkan penyertaan modal sebagai kepemilikan, karena itu hanya merupakan cara pengendalian semata.
Sikap hukum yang tegas dan pasti diperlukan agar Keuangan Negara dapat mewujudkan tujuan kita bernegara. BUMN dan anak perusahaan BUMN harus dapat dikelola dengan baik dan kompetitif melalui mekanisme pengelolaan yang umum terjadi di sebuah korporasi. Penulis, Kabidstu HAN/ Dosen Hukum Keuangan FHUI