JAKARTA - Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris mengatakan, perdebatan mengenai hak cipta, khususnya soal copyright atau copyleft,rezim yang dianut saat ini adalah rezim ekonomi. Artinya, Indonesia mengakui dan sudah menyusun UU tentang Hak Cipta.

"Tapi, apabila kita mau melepas sisi ekonmi dari hak cipta itu atau copyleft, ya dilepaskan silakan, tapi negara melindungi sisi ekonomi," ujar Freedy Harris dalam sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena, bertema HKI: Copyright atau Copyleft yang digelar secara daring pada akhir pekan ini.

Sarasehan yang dipandu novelis Achmad Fuadi ini menghadirkan, Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia, Chandra Darusman, wartawan senior dan komisaris Tempo Media, Bambang Harimurti, serta novelis Okky Madasari ini dalam rangka menyongsong Kongres Satupena yang akan diselenggarakan Agustus mendatang.

Lebih lanjut Freddy dalam siaran persnya mengatakan, dunia saat ini sangat dinamis. Indonesia sudah terikat dengan berbagai perjanjian yang menghargai hak cipta dan menghargai hak intelektual.

Dikatakan Freddy, Indonesia menggunakan rezim hak cipta, karena itu diikuti, demi melindungi hak ekonomi. "Yang hanya bisa dilakukan atau copyleft adalah hak ekonominya saja, hak ciptanya tidak bisa. Contoh buku karya Ok Madasari sampai kapanpun karya dia, hanya saja penjualan dan lainnya beda. Sampai hari ini copyleft hanya 0,1 persen, jadi kecil dan tidak bisa berkembang," ujarnya.

Ditegaskan Freddy, pemerintah jelas melindungi semua hasil kreativitas. Sedangkan hak moral tidak bisa dihapus. Pihaknya sepakat bahwa Indonesia kuat dalam kretivitas dan ini jadi keunggulan.

Sementara itu Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia, Chandra Darusman menyinggung sejarah lahirnya hak cipta dan polemik copyright dan copyleft.

"Saya secara ke masyarakat setuju, kedua hal itu bisa hidup berdampingan, hanya saja kubu satu agak genit dan overacting dan membuat ketersinggungan," kata Chndra.

Chandra yang selama ini dikenal sebagai musisi mengatakan, topik sarasehan Satupena ini sangat relevan karena menyangkut hak intelektual dalam kaitan industri yang berkembang saat ini.

Hak Kekayaan Intelektual itu terdiri atas Hak Industraial dan Hak Cipta. Hak industrial terdiri atas hak paten, merek, indikasi geografis, desain, rahasia dagang (formula). "Nah, yang kita bahas di sini menyangkut bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sebagai hak cipta (ekspresi)," katanya.

Hak cipta juga middle way,Indonesia menggunakanistilah hak cipta tahun 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab

"Karena copy right bersifat teritorial maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai oleh Vivtor Hugo. Di Berne Convenstion pun tidak disebut copyright," ujar Chandra.

Dikatakan, AS mencari keseimbangan antara copyright dan copyleft. Ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan dimuka bumi copyright itu. Juga ada partai di swedia yang menginginkan agar copyright dihilangkan. "Saya agak setuju kadang-kadang copyright atau authors right agak overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bahkan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ," katanya.

Bagaimana Indonesia? Chandra menjelaskan Indonesia pernah left copy, bukan copyright, tidak menghargai hak cipta. Pada 1958, Indonesia keluar dari Bern Convention. Selama 28 tahun Indonesia tidak menghargai hak cipta agar inteletual bisa berkarya tanpa membayar royalty.

Tahun 1996, tamvah dia, Indonesia kembali menghargai hak cipta. Harus jujur, kontribusi industri yang menghargai hak cipta, menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhannya di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Dari hak cipta berkembang inovasi, Indonesia punya potensi. Karena bakat dan kreativitas bangsa Indonesia sangat bagus. Indonesia harus mengandalkan SDM yang kreatif dan memiliki nilai tambah tinggi.

"Kesimpulannya, sampai kapanpun, copyright dan copyleft akan sangat eksis dalam dunia yang terus berkembang. Kabar baiknya hak cipta bukan monopoli hak absolut, karena dalam UU Hak Cipta ada pembatasan-pembatasan demi kepentingan umum tanpa merugikan kreator, inilah keseimbangan antara copyright dan authors right.

Kontrol Kreasi di Tangan Kreator

Lain lagi pandangan novelis Okky Madasari. Dia mengatakan, ketika bicara soal copyright dan copyleft seharusnya menempatkan kontrol sebuah kreasi di tangan kreator.

"Keputusan kreatornya yang menentukan apakah dia akan gunakan cara konvensional (hanya bisa dipiblikasi, dijual, dan sebagainya) atau memilih cara ala copyleft di mana seseorang mendistribusikan dan membaca dengan bebas.

Diungkapkan, pada Desember 2019, Oky menerbitkan buku Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan dan sengaja mempublikasikan karya secara bebas.

"Saya sadar dan bahwa keuntungan ekonomi tidak sebatas hanya soal uang, tapi kita ingin dapat benefit lain. Tapi saya ingin buku itu banyak dibaca dan didiskusikan banyak orang. Bahkan menjualnya ketika saya melakukan itu, dampaknya luar biasa, meski bukan popular, didiskusikan banyak orang, termasuk komunitas di kampung, jika konvensional membeli akan berat," paparnya.

Menurut Okky, ada tiga hal yang perlu diperhatikan semua pihak, terutama pemerintah yakni pembajakan, plagiasi, dan silent sing. Pembajakan tidak bisa diselesaikan oleh 1-2 penulis di sosmed, tapi ini sistemik. Indonesia punya hukum tapi masih ada pembajakan. Bahkan ada pusat pembajakan yang secara bebas menerbitkan buku-buku orang. Ini catatan besar bagi penerbit karena punya power dan penulis sudah menyerahkan haknya, maka penerbit bersama pemerintah harus memperjuangkan atas pembajakan, bukan sekadar lip service.

Tentang plagiasi, jelas ini pelanggaran terhadap copy right. Kesadaran atas plagiasi belum disadari oleh masyarakat Indonesia, termasuk ada tempat wisata yang meniru di tempat lain. Penulis juga belum menyadari adanya plagiasi, misalkan dia mencantumkan nama atas karya siswa penulis atau siapa.

Bagaimana mencegah pembajakan, menurut Okky, ini clear. Pembajakan ini tidak bisa diterima, apapun alasannya, teknologi tidak bisa jadi alasan. Kominfo bisa melakukan langkah tegas, menutup pdf illegal.

"Selama ini Kominfo bisa melakukan pencegahan pornografi, kok gak bisa hal hal yang terkiat dengan hak cipta. Ada UU yang jelas yakni UU Hak Cipta. Yang tidak jelas adalah penegakan hukumnya. Polisi punya divisi cyber, harusnya juga bisa melakukan pemantauan website yang menyebarluaskan pdf illegal," ujarnya.

Baca Juga: