JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mempertanyakan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis pidana nihil dalam perkara korupsi Asabri atas terdakwa Heru Hidayat.

"Ini tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Rabu. Menurut dia, Heru Hidayat dalam perkara lain, yaitu kasus korupsi Asuransi Jiwasraya telah divonis seumur hidup dan incracht(berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan Kasasi). Kemudian oleh Hakim PN Jakpus, pada Selasa (18/1) divonis nihil atas perkara korupsi Asabri.

Boyamin menyebutkansemestinya hakim jika tidak memberikan hukuman mati sesuai dengan tuntutan jaksa, harusnya tetap memberi hukuman seumur hidup atau seumur hidup secara bersyarat (jika hukuman penjara seumur hidup dalam perkara Jiwasraya bebas atau berkurang oleh upaya peninjauan kembali atau mendapat grasi Presiden, maka hukuman seumur hidup dalam perkara Asabri tetap berlaku).

Berdasar Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika hakim menyatakan terdakwa bersalah, maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana. "Tidak boleh nihil," kata Boyamin.

Karena, menurut Boyamin, hukuman sebelumnya dalam kasus Jiwasraya adalah seumur hidup dan bukan penjara dalam hitungan maksimal 20 tahun. Hukuman nihil hanya berlaku di perkara penjara terhitung satu hari hingga maksimal 20 tahun. Jika hukuman seumur hidup, maka bisa dijatuhkan hukuman yang sama atau hukuman di atasnya, yaitu mati.

"Putusan kemarin menyatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat terbukti, maka seharusnya dipidana dan bukan nihil. Bisa seumur hidup atau mati," kata Boyamin.Boyamin menyebutkansesuai Pasal 240 KUHAP putusan hakim itu keliru sehingga Jaksa Agung harus banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Putusan mati sebenarnya paling proporsional dan sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat. Sebab perbuatan Heru Hidayat sangat merugikan negara, masyarakat, dan nasabah secara berulang (Jiwasraya dan Asabri).

Baca Juga: