Bulan April 2019 menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan politik Indonesia. Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 17 April tidak saja dicatat sebagai "eksperimen" baru demokrasi, tapi juga menjadi periode penting bagi partai politik (parpol), tidak terkecuali partai-partai politik Islam.

Buku Pergolakan Partai Islam di Tahun Politik memotret dinamika parpol Islam dengan berbagai peristiwa dan wacana yang berkembang di internal sepanjang tahun politik 2018 sampai menjelang Pemilu 2019.

Pada periode ini, parpol Islam bergolak, mulai dari sengkarut pencalonan presiden dan wakil presiden sesama kader sampai konflik internal. Ada lagi terbelahnya suara parpol Islam yang dipicu menguatnya politik identitas antara pengusung ideologi keumatan dan pendukung ideologi kerakyatan (halaman 110).

Setidaknya ada lima parpol Islam yang memberi warna cukup tebal tahun politik, terutama dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Berbagai wacana dan isu berkembang seiring upaya partaipartai Islam konsolidasi mendorong kader menjadi kandidat capres/cawapres. Partai Kebangkita Bangsa (PKB), misalnya.

Parpol berbasis massa ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) ini berupaya keras mengajukan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, mendampingin Joko Widodo sebagai cawapres, tapi gagal. Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak hanya menyodorkan presiden partainya. Partai pimpinan Sohibul Iman ini bahkan mengajukan sembilan kader untuk dicalonkan menjadi capres-cawapres. (halaman 6).

Kurang lebih sama terjadi pada Partai Amanat Nasional (PAN) yang memunculkan empat nama maju sebagai capres. Dari keempat nama (Zulkifli Hasan, Hatta Rajasa, Amien Rais, dan Sutrisno Bachir), hanya Zulkifli Hasan memiliki elektabilitas tinggi (halaman 60).

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) meskipun tetap mencalonkan kaderkader dalam bursa pencapresan, lebih sadar diri memilih meningkatkan elektabilitas partai yang terus tergerus akibat konflik internal berkepanjangan (PPP). Ada kemungkinan ditinggal pendukung akibat tak memiliki kursi di parlemen (PBB).

Kegagalan parpol-parpol Islam mendorong kader maju sebagai capres maupun cawapres bisa dibaca sebagai dampak serius konflik internal berkepanjangan. Salah satunya mendasari pergolakan tubuh partai-partai Islam tersebut. Muhaimin Iskandar ditolak kelompok-kelompok loyalis Abdurrahman Wahid (Gusdurian).

Konflik internal PKB sejak 2008 menyisakan bara amarah loyalis Gus Dur yang disingkirkan Cak Imin dalam struktur PKB. (halaman 57). PKS terganjal konflik internal elite. Upaya menjegal Anis Matta dalam PKS sendiri akhirnya tak mampu menghadirkan sembilan kader maju dalam kontestasi capres/ cawapres.

Berbagai pergolakan itu tidak selalu berarti destruktif, justru menimbulkan kejutan- kejutan dalam pemilu. Partai Islam yang sebelumnya diprediksi lembaga survei tidak akan lolos ambang batas parlemen, tidak terbukti. PKS bahkan berhasil meraih suara signifikan. Demikian pula PPP dan PAN yang kembali mampu membawa kadernya melenggang ke DPR.

Tentu saja, konflik berkepanjangan dan keterbelahan suara yang mewarnai pergolakan partai Islam akan menyebabkan tren kurang baik masa mendatang. Sayangnya, buku ini tidak cukup gamblang menjawab peluang parpol Islam untuk memiliki masa depan lebih gemilang pasca-Pemilu 2019.

Terlepas dari itu, buku ini memberikan sumbangan berharga dalam khazanah literasi politik, khususnya pengayaan diskursus parpol Islam dalam dinamika politik tanah air.

Diresensi Denny YF Nasution, Tenaga Ahli DPR

Baca Juga: