Oleh Boy Bayu Idisondjaja, S.T., M.M., M.Si (Han)

Dunia saat ini sedang berada dalam gelombang inovasi ke-5 sebagaimana tergambarkan melalui Siklus Kondratieff yang didorong oleh kemunculan berbagai macam teknologi komunikasi dan informasi. Jaringan berbasis digital, software, dan maraknya 'media baru' (new media) merupakan beberapa bentuk penting dari gelombang inovasi ke-5. World Economic Forum sejak tahun 2013 telah menempatkan digital wildfires sebagai salah satu resiko global yg utama dimana dunia mengalami hiperkoneksi (hyperconnected world) akibat dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Seluruh negara dan kehidupan masyarakat dimuka bumi, cepat atau lambat pada akhirnya tidak terhindarkan dari proses digitalisasi. Dengan demikian, isu utama mengenai digitalisasi bukan lagi terletak kepada bagaimana membangun akses digital yang lebih luas tetapi bagaimana menyusun strategi dan mengelola dampak digitalisasi yang akan mencakup bidang ekonomi, kehidupan sosial masyarakat, dan kepemerintahan sebuah negara.

Pada kondisi tersebut, digitalisasi media merupakan suatu keniscayaan dan menjadi isu yang kritikal. Penelitian mengenai pemetaan digital media di Indonesia yang dilakukan oleh Open Society Foundation (2014) menunjukkan digitalisasi media, telah memberikan dampak signifikan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia baik dari sisi sosial, politik, ekonomi-bisnis. Para pemangku kepentingan (stakeholders) teknologi komunikasi dan informasi memerlukan sebuah cara pandang baru terhadap digitalisasi.

Dalam tradisi ilmu komunikasi, media sering dirujuk sebagai media massa (mass media) pembentuk dari komunikasi massal (mass communication) sehingga didefinisikan sebagai pengorganisasian berbagai sarana komunikasi secara terbuka, pada suatu jarak tertentu, kepada banyak audiens dalam rentang waktu yang pendek (McQuail, 2010). Secara konvensional, bentuk media massa tersebut adalah audio (misal: radio), visual (misal : TV), dan cetak (misal: majalah, koran, buku, dan lain sebagainya) dengan berbentuk analog. Pada dasarnya, media masal akan melibatkan tiga hal pokok, yaitu bagaimana media tersebut diproduksi (media production), bagaimana pendistribusian media (media distribution), dan pengunaan media (media usage). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong bentuk konvensional media tersebut kedalam produksi, distribusi, dan penggunaan media yang berbeda melalui perubahannya kedalam bentuk digital (Lister, et al., 2009). Proses transformasi tersebut dikenal sebagai digitalisasi media (Lievrouw, 2011; Liester, et al., 2009; Fieldman, 2005).

Fenomena New Media

Digitalisasi media merupakan proses transformasi media yang semula bersifat analog menjadi digital. Didalam proses digital media, berbagai bentuk fisik dari data input media seperti gambar, suara, teks, dan lain sebagainya, akan dikonversi kedalam bentuk angka-angka biner (binary digit "0" & "1") sehingga berdampak kepada produksi, distribusi, dan penggunaan atau konsumsi media (Lievrouw, 2011; Liester, et al., 2009; Fieldman, 2005). Media dilepaskan dari realitas fisiknya untuk kemudian berpindah kedalam realitas simbolik komputasional sehingga beragam operasi mampu dilakukan secara bersamaan (Liester, et al., 2009).

Ketika kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendorong terjadinya digitalisasi media maka munculnya fenomena new media menjadi tidak terelakkan. Lievrouw (2011) menyatakan new media tidak hanya terkait dengan konteks teknologi informasi dan komunikasi tetapi juga terkait dengan konteks sosial yang terdiri dari tiga komponen utama.

Pengaruh dari enam sifat dasar digital informasi mendorong terjadinya rekombinasi atau hibridisasi antara teknologi dengan teknik inovatif sehingga media akan terus terjadi proses terbaharui. Terbentuknya jaringan organisasi masyarakat maupun antar bentuk teknologi lainnya diikuti dengan terbentuknya konsekuensi sosial berkenaan dengan keberlimpahan informasi serta meningkatnya komunikasi interaktif (Lievrouw, 2011).

Digital media dan fenomena new media menekankan suatu situasi baru terjadinya relativitas posisi di mana batasan antara pengirim dan penerima pesan komunikasi menjadi semakin nisbi. Terjadi pula pergeseran dari audiens (pasif) menjadi pengguna (aktif) informasi, dan dari konsumen menjadi produsen informasi (McQuail, 2010; Liester, et al., 2009). Dengan demikian, bentuk digital media dan kemunculan fenomena new media meningkatkan kompleksitas hubungan antara produksi, distribusi, dan penggunaan media.

Lingkungan Strategis

Lingkungan eksternal atau sering dikatakan juga lingkungan strategis yang dihadapi suatu organisasi di masa kini dan mendatang, memiliki empat sifat mendasar yaitu volatil (Volatility), ketidakpastian (Uncertainty), kompleksitas (Complexity), dan ambigu (Ambiguity), sering disingkat dengan VUCA. Setiap sifat tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan berinteraksi satu dengan lainnya.

Digitalisasi media sebagai salah satu "event besar" dalam gelombang ke-5 Siklus Kondratieff akan mempengaruhi kondisi VUCA. Melalui sifat kemampu-bentukan dari digital media membuat kondisi volatil (V), dari lingkungan strategis menjadi bertambah cepat atau meningkat. Sifat kemampu-hubungan digital media membetuk hubungan sosial yang semakin kompleks dan tidak berbatas secara geografis.

Digital media yang mampu memiliki tingkat kepadatan informasi (dense) dan kemampu-mampatan (compressible) yang tinggi membuat lalu lintas penyebaran informasi menjadi cepat, tinggi, padat, dan berdaya jangkau luas. Pertukaran antara informasi dengan kontra-informasi terhadap isu tertentu dengan tingkat keakuratan & kebenaran yang semakin sulit diukur meningkatkan kondisi ketidak-pastian lingkungan strategis (U) Kondisi tersebut selain meningkatkan kemudahan tetapi membuka persoalan baru dalam menjaga keamanan data.

Individu maupun organisasi dalam berbagai tingkatannya akan menerima (sekaligus memproduksi) keberlimpahan dan keterbaharuan informasi yang cukup sulit diukur tingkat kebenaran dan keakuratannya. Keadaan tersebut meningkatkan kecenderungan keambiguitasan (A) sehinga mendorong kesalahan pengambilan keputusan mulai dari tingkat individu sampai kepada organisasi menjadi tinggi.

Dampak pada Ketahanan

Dari sudut keamanan - ketertiban, permasalahan keakuratan dan kualitas informasi atau berita yang terkandung dalam digital media dapat menekan ketahanan nasional. Masyarakat dihadapkan kepada situasi ketidak-pastian apakah informasi atau berita yang dibacanya dapat dipercaya, benar atau tidak, yang pada akhirnya mempengaruhi kohesi sosial.

Sebagai contoh berita peristiwa Tolikara (17 Juli 2015) yang dengan cepat muncul di berbagai media on-line dan berlalu-lintas di tataran telepon seluler menimbulkan ketidakpastian, kerentanan sosial, dan potensi ekskalasi konflik berunsur SARA. Atau, Peristiwa terkait Pilkada DKI tahun 2017 lalu begitu sangat masif membelah masyarakat kita sampai ketingkat yang paling bawah.

Dengan sifat keberadaannya digitalisasi akan mempengaruhi lingkungan strategis yang pada akhirnya berdampak kepada Ketahanan Nasional. Indonesia yang masih berada pada tahapan terbatas (constrained) dalam digitalisasi harus bersiap diri memasuki tahapan berikutnya yang menuntut kesiapan perubahan.

Penulis, Dosen PPM School of Management dan Kandidat Doktor Strategic Management FEUI

Baca Juga: