Para difabel dapat berlatih teater, Menari, puisi, gambar, lukis, desain, dan lainnya. Melalui seni, apresiasi dapat teraktualisasikan secara maksimal.

Walaupun lahir dengan keterbatasan, bukan berarti para penyandang difabel (keterbatasan fisik, mental, kognitif, sensorik, emosional maupun kombinasi) harus dikasihani terus menerus. Difabel juga bisa berprestasi jika terus dilatih.

Latihan sesuai kebutuhan tubuhnya akan menuntun mereka menjadi pribadi mandiri. Community of Difable Indonesia (C.A.N) memberikan ruang para difabel untuk mengekspresikan dirinya.

Lepas dari ketergantungan orang lain menjadi tantangan para difabel. Mengingat, mereka memiliki keterbatasan sehingga segala aktifitasnya hampir tergantung dengan orang-orang disekitaranya. Meski membutuhkan ketelatenan, latihan yang dibutuhkan akan memberikan bekal untuk penyendang difabel di kehidupan dewasanya kelak.

Deananda Ivana Joe, Penanggung Jawab CAN mengatakan potensi para difabel dapat dikembangkan seperti anak-anak pada umumnya.

"Potensinya melalui proses latihan dan "jam terbang"," ujar dia melalui aplikasi komunikasi, Selasa (16/7). Lebih lanjut, ia mengatakan selama ada bakat kemampuan anak dapat diasah.

Untuk waktu pembelajaran, dia tidak dapat tidak ada target tertentu. Karena setiap anak membutuhkan proses yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Bakat anak dapat terlihat mulai dini. Wanita yang biasa disapa Dea ini pernah melibatkan anak usia 3 tahun sebagai cameo atau dalam arti bebas berarti pendukung dalam pertunjukkan teater selama dua segmen. Hal tersebut lantaran, Dea melihat bakat yang dimiliki anak tersebut.

Kemandirian merupakan tujuan dalam proses belajar para difabel. Namun, pola asuh, lingkungan, keluarga dan pola belajaranya merupakan sejumlah faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran. Terlebih, setiap difabel memiliki keterbatasan yang berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda juga.

CAN memiliki visi untuk mengkolaborasikan komunitas-komunitas difabel di Indonesia. Mereka memberikan kesempatan tanpa batas untuk para penyandang difabel berkarya secara nyata dan mengaktualisasikan dirinya untuk negara.

Dea beranggapan bahwa para difabel pun merupakanaset bangsayang sangat berharga. Sedangkan, misinya bergerakan dalam bidang pendidikan untuk memberikan harapan hidup yang lebih baik.

Kegiatan seni dianggap merupakan kegiatan yang mampu memupuk para difabel untuk melatih kemandirian. Seni memberikan ruang yang luas untuk melatih motorik, fisik, sensorik bahkan emosional.

Para difabel dapat berlatih teater, nari, puisi, gambar, lukis, desain dan lain sebagainya. Melalui seni, apresiasi dirinya dapat teraktualisasikan secara maksimal.

CAN tidak hanya menampung difabel dengan downsyndrome saja. Mereka menampung difabel untuk semua komunitas difabel yang menyukai seni pertunjukkan, seperti teater, musik, puisi dan modeling.

Berbagai pertunjukkan pun digelar sebagai unjuk gigi dan melatih kepercayaan diri. Dari kegiatan tersebut muncullah berbagai ajakan kerja sama yang membuat ruang difabel dapat tampil di tengah masyarakat.

Para difabel merupakan bagian dari masyarakat. Walaupun dalam kondisi terbatas, keberadaannya pun tidak berbeda dengan orang lain.

Mereka memiliki hak untuk hidup dan berekspresi bahkan berpartisipasi pada nusa dan bangsa. Usaha yang dilakukan terus menerus pun suatu saat akan memetik hasilnya. din/E-6

Bukan Kelompok Masyarakat yang Dikasihani

Keterbukaan masyarakat telah secara positif menerima keberadaan difabel. Hal ini menjadikan orang tua maupun penyandang tidak merasa tersisih namun menjadi bagian dari masyarakat.

"Penerimaan masyarakat sekarang lebih terbuka buat anak-anak dengan 'special needs'," ujar Dea. 'Special needs' yang dimaksud tidak lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, down syndrome, tunadaksa, tunalaras, autism, ADHD, gifted, dilexia, hypoactive. Walaupun pada awalnya muncul adanya pandangan miring namun sejalannya waktu mereka merupakan bagian dari masyarakat.

Dea tidak memungkiri bahwa masih ada masyarakat yang tidak menerima keberadaan para difabel. Hal ini lantaran masyarakat belum mengenal maupun berhubungan atau terkoneksi secara langsung. "Makanya tidak sayang, kalau sudah kenal pasti sayang," ujar dia bersemangat.

Meskipun masyarakat sudah mulai menerima keberadaan difabel namun para difabel masiih dianggap sebagai sosok yang perlu dikasihani. Hal inilah yang ingin dan harus diubah.

Dea bermaksud mengarahkan paradigma bahwa mereka adalah aset bangsa. Dengan melatih kemandirian maka tidak hanya membawa dampak positif untuk dirinya sendiri melainkan mereka dapat turut berpartisipasi untuk bangsa dan negara.

Pola pikir bahwa setiap manusia adalah pribadi yang unik akan memudahkan para penyandang 'special needs' untuk diterima di masyarakat. Selain itu, perlakukan yang ingin diterima dari orang lain turut mengubah pandangan pada kalangan difabel.

Karena pada dasarnya, para difabel pun ingin diperlakukan layaknya masyarakat pada umumnya. Apalagi secara empirik bahkan difabel juga punya bakat dan kemampuan yang luar biasa dalam berbagai bidang jika mendapat pelatihan yang baik. din/E-6

Awalnya Kaget Kemudian Bersabar

Hampir semua orang tua mendambakan buah hati yang sehat dan memiliki anggota tubuh lengkap. Namun garis hidup tidak dapat ditolak, buah hati dengan special needs atau difabel menjadi bagian kehidupan.

Yenny (48) masih tidak percaya kalau dokternya menyatakan putranya, Davin Antonio (13), 'suspect down syndrome' tiga hari setelah kelahirannya. Dugaan dokter makin diperkuat dengan hasil pemeriksaan kromosom.

"Reaksi pertama kaget pasti, sedih, penyangkalan namun tidak berlangsung lama (kurang lebih satu bulan)," ujar dia melalui pesan aplikasi komunikasi yang diterima, Rabu (17/7). Karena rasa kaget yang muncul pada awalnya menjadi rasa sayang.

Tantangan pun muncul dalam membesarkan buah hati, terlebih ia membesarkan Davin seorang diri. Penyandang down syndrome memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan anak-anak pada umumnya.

Maka, orang tua harus memiliki kesabaran ekstra dan terapi sejak dini. Tantangan makin kompleks sejalan dengan pertumbuhan usia anak, seperti mengenalkan anak pada sosialisasi dan pubertas.

Ramonalisa Hutagalung, 55, malah tidak memahami saat dokter memberitahu bahwa Abraham (21) mengalami speech delayed saat usia 22 bulan. "Menurut saya diagnosa tersebut seperti penyakit yang ada obatnya," ujar dia.

Setelah mengetahui arti speech delayed, tak urung ia pun kaget, putus asa bahkan sedikit depresi. Baginya, tantangan terbesar membesarkan anak dengan special needs berasal dari dirinya sendiri.

Perasaan bingung dialami pula oleh Liany, dia baru mengetahui putrinya, Cindy Sujono (20) down syndrome saat usia 6 bulan. "Bingung dan tidak mengerti apa itu down syndrome," ujar dia menceritakan diagnosa yang di sampaikan dokter beberapa tahun silam.

Meskipun awalnya kaget maupun menyangkal, kehidupan terus berjalan. Membesarkan buah hati dengan kesabaran dan kasih sayang menjadi salah satu kunci mempersiapkan anak untuk mandiri. Berbagai terapi dijalani untuk menunjang tumbuh kembang anak.

Pembelajaran harus diulang-ulang. "Untuk prilaku harus ditegaskan apa yang boleh dan tidak boleh," ujar Yenny yang mengarahkan mengikuti les menari dan perkusi sesuai minat anak.

Yang utama lagi adalah tidak membedakan anak-anak special needs dengan anakanak regular. Karena, mereka memiliki perasaan yang sama dengan anak-anak reguler.

Ramonalisa memilih untuk memahami karekter anak sebelum memberikan pembelajaran. Anak dapat dikategorikan kinestetik (kemampuan menggunakan seluruh tubuh dan fisiknya), visual atau auditory maupun mixed (perpaduan keduanya). Setelahnya, metode pembelajaran akan lebih mudah ditemuakan. "Dan the best teacher is their parents," ujar dia.

Sedangkan Liany berpendapat bahwa membesarkan anak dengan special needs tak ubahnya anak pada umumnya. Mereka membutuhkan kasih sayang dan pujian setiap ada kemajuan.

"Dengan begitu akan membentuk kepercayaan diri untuk hidup mandiri," ujar dia. Karena kepercayaan diri akan membantu anak untuk mandiri seperti anak-anak pada umumnya. din/E-6

Baca Juga: