Garam dari gurun Sahara adalah salah satu barang perdagangan penting di Afrika Barat pada zaman kuno. Di wilayah ini, sangat sedikit simpanan mineral alami ini yang dapat ditemukan, sehingga nilai garam hampir setara dengan emas.

Garam dari gurun Sahara adalah salah satu barang perdagangan penting di Afrika Barat pada zaman kuno. Di wilayah ini, sangat sedikit simpanan mineral alami ini yang dapat ditemukan, sehingga nilai garam hampir setara dengan emas.

Diangkut dengan karavan unta dan perahu di sepanjang sungai seperti Niger dan Senegal, garam sampai ke pusat perdagangan seperti Koumbi Saleh, Niani, dan Timbuktu. Dari sini kemudian diangkut jauh ke selatan atau ditukar dengan barang lain seperti gading, kulit, tembaga, besi, dan sereal.

Pertukaran yang paling umum adalah garam dengan debu emas yang berasal dari tambang di Afrika Barat bagian selatan. Garam di wilayah ini menjadi komoditas yang sangat berharga sehingga nilainya hampir setara dengan emas di beberapa wilayah di Afrika Barat.

Kebutuhan akan garam di Afrika Barat kuno dirangkum dalam kutipan dari Sejarah Umum Afrika UNESCO. "Garam adalah mineral yang sangat diminati terutama dengan dimulainya gaya hidup pertanian. Pemburu dan pengumpul makanan mungkin memperoleh asupan garam dalam jumlah besar dari hewan yang mereka buru dan dari makanan nabati segar," tulis buku UNESCO General History of Africa, Vol. III (1992).

Laporan itu menambahkan; "Garam hanya menjadi bahan tambahan yang penting ketika makanan segar tidak dapat diperoleh di daerah yang sangat kering, di mana keringat tubuh juga biasanya berlebihan. Namun hal ini menjadi sangat diinginkan di kalangan masyarakat dengan pola makan yang relatif terbatas, seperti yang terjadi pada para petani garapan."

Selain itu, garam selalu banyak diminati untuk mengawetkan daging kering dengan lebih baik dan menambah rasa pada makanan, terutama di wilayah sabana di selatan gurun Sahara bagian barat (dikenal sebagai wilayah Sudan) dan hutan di bagian selatan Afrika Barat yang miskin garam.

Daerah-daerah di dekat pantai Atlantik dapat memperoleh mineral tersebut dari evaporasi atau dari air laut. Kekurangannya, garam laut tidak dapat berpindah atau disimpan dengan baik. Alternatif ketiga adalah garam yang berasal dari abu tanaman yang dibakar seperti millet dan palem, namun sekali lagi garam tersebut tidak begitu kaya akan natrium klorida.

Akibatnya, di sebagian besar wilayah Sudan, garam harus didatangkan dari utara. Gurun Sahara yang tidak ramah merupakan sumber utama garam batu, baik yang diperoleh dari endapan permukaan yang disebabkan oleh proses pengeringan seperti yang ditemukan di dasar danau tua.

Pilihan lainya adalah ekstraksi garam dari tambang yang relatif dangkal di mana garam secara alami dibentuk menjadi lempengan. Garam jenis ini yang berwarna abu-abu krem ini jauh lebih unggul dibandingkan sumber garam lain yang berasal dari laut atau tumbuhan tertentu.

Sampai saat ini, kapan kawasan tersebut menjadikan garam sebagai komoditas perdagangan tidak diketahui. Yang jelas pertukaran garam dengan sereal sudah ada sejak zaman prasejarah ketika masyarakat gurun dan sabana berupaya mendapatkan apa yang tidak dapat mereka produksi sendiri.

Komoditas Berharga

Dalam skala yang lebih besar, karavan unta kemungkinan besar melintasi Sahara setidaknya sejak abad pertama milenium pertama masehi. Karavan ini dijalankan oleh suku Berber yang bertindak sebagai perantara antara negara-negara Afrika Utara dan Afrika Barat.

Garam adalah barang dagangan utama mereka, tetapi mereka juga membawa barang-barang mewah seperti barang pecah belah, kain halus, dan barang-barang manufaktur. Garam, baik produksi maupun perdagangannya, akan mendominasi perekonomian Afrika Barat sepanjang milenium ke-2 M, dengan sumber dan pusat perdagangan yang terus berpindah tangan seiring dengan bangkit dan runtuhnya kerajaan.

Tambang garam Idjil di Sahara misalnya, merupakan sumber komoditas berharga yang terkenal bagi Kekaisaran Ghana (abad 6-13 M) dan masih kuat hingga abad ke-15 M.

Pada abad ke-10 M, Sanhaja Berber, yang menguasai tambang garam di Awlil dan Taghaza dan transportasi melalui kota-kota perdagangan seperti Audaghost, mulai menentang monopoli perdagangan Kekaisaran Ghana. Pada abad ke-11 M, tambang Awlil berada di tangan Takrur, namun Kekaisaran Mali (1240-1645 M) yang mendominasi perdagangan garam sub-Sahara setelah runtuhnya Kekaisaran Ghana.

Namun, pelabuhan sungai semi-independen seperti Timbuktu mulai mencuri peluang perdagangan dari raja-raja Mali di wilayah barat. Kerajaan berikutnya yang mendominasi wilayah ini dan pergerakan garam adalah Kekaisaran Songhai (abad 15-16 M) dengan ibu kota perdagangannya yang besar di Gao.

Garam mungkin jarang ditemukan di sabana, namun di kota pertambangan gurun seperti Taghaza (sumber garam utama Sudan hingga abad ke-16 M) dan Taoudenni, komoditas tersebut masih begitu melimpah. Bahkan garam batu yang keras malah sering digunakan untuk membangun rumah.

Tambang garam sebagai tempat penghasil uang menarik persaingan untuk mendapatkan kepemilikan atasnya. Seperti ketika pemimpin Maroko, Muhammad al-Mahdi, berusaha menguasai pasar dengan mengatur agar beberapa pedagang garam terkemuka Tuareg dibunuh di Taghaza pada pertengahan abad ke-16 Masehi.

Memang secara harfiah, siapa pun yang menguasai perdagangan garam juga menguasai perdagangan emas. Kedua komoditas merupakan pilar ekonomi utama berbagai kerajaan dalam sejarah Afrika Barat. hay/I-1

Baca Juga: